Namun, wacana penggantian fungsi kompor gas ke kompor listrik yang direncanakan akan direalisasikan tahun ini kembali ditunda. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto. Langkah ini diambil guna menjaga kenyamanan masyarakat dalam pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19. Padahal, Direktur Utama PT PLN Darmawan Prasodjo sebelumnya mengungkapkan bahwa penggunaan kompor listrik di rumah-rumah dinilai dapat menghemat biaya hingga Rp 8.000 dibandingkan penggunaan kompor gas. Kompor listrik digadang-gadang memiliki keunggulan diantaranya mampu menghantarkan panas lebih cepat, mudah dibersihkan, lebih hemat energi, dan tidak mengganggu suhu ruangan setelah memasak. Namun, tak berselang lama dari publikasi rencana tersebut, Menteri Airlangga justru menunda konversi kompor listrik dengan berbagai alasan mengingat banyak masalah teknis yang belum teratasi.
Alasan pertama, kompor gas masih tetap bisa digunakan. Menteri BUMN Erick Thohir menyampaikan bahwa kompor gas tetap dapat digunakan dan dijual yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Mengingat wacana konversi kompor listrik yang sempat memicu pro kontra masyarakat. Hal tersebut dikarenakan akses dan kemampuan masyarakat secara finansial belum merata, sehingga masyarakat masih memilih bertahan menggunakan kompor gas. Alasan kedua, konversi kompor listrik ini sempat ditentang anggota DPR RI.Â
Penggunaan kompor listrik identik dengan masakan orang bule, hal tersebut tidak cocok dengan masakan Indonesia sehingga belum bisa efektif. Alasan ketiga, prediksi beban daya PLN bisa meledak. Realisasi konversi kompor listrik digadang-gadang dapat membuat PLN menanggung beban daya yang lebih besar. Sehingga akan berpengaruh terhadap pengeluaran PLN yang semakin membengkak mencapai Rp 3 triliun per gigawatt-nya. Penundaan ini akan membuat beban PLN semakin berat karena harus menanggung beban kelebihan suplai produksi listrik dimana mega proyek pembangkit listrik 35 gigawatt (GW) dalam periode 2015 -- 2019 menjadi penyebab kelebihan kapasitas listrik.
Meskipun konversi kompor gas mengalami penundaan, namun uji coba akan tetap dilakukan yaitu di dua kota besar Indonesia (Solo dan Denpasar). Hal tersebut tetap dilakukan demi mendapatkan data real mengenai penggunaan kompor listrik di tengah-tengah masyarakat. Â Yang kemudian akan dilakukannya evaluasi dari uji coba tersebut. Disamping itu, pemerintah juga menjamin akan melakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat sebelum program tersebut diberlakukan untuk masyarakat.
Dampak Kebijakan
Kebijakan mengenai konversi kompor gas menjadi kompor listrik sempat mendapatkan persepsi mendalam terkait efektivitasnya, sehingga kebijakan ini perlu ditunda serta dikaji ulang. Di satu sisi kebijakan ini dikatakan memberikan dampak positif dalam menjaga neraca pembayaran, karena dapat menekan biaya impor gas LPG yang diproyeksikan sebesar 7,2 juta metrik ton di tahun ini atau terbilang naik sebesar 16,3% dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya. Bob Saril selaku Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN mengatakan bahwa selain dapat mengurangi current account deficit, subsidi kompor ini diharapkan mampu mendorong peningkatan pemanfaatan listrik di Indonesia yang terbilang rendah, bahkan lebih rendah daripada Vietnam.
Mengkaji dampak positif yang didapat, program ini ternyata tidak lepas dari pro-kontra bagi masyarakat. Dampak yang diberikan terbilang signifikan apabila diberlakukan, terutama bagi masyarakat dengan kelas ekonomi menengah ke bawah. Peralihan ini akan memberikan efek bagi peningkatan daya listrik yang semula sebesar 450 VA menjadi 900 VA. Efek ini sempat dibahas dalam rapat Banggar DPR bersama Kementerian Keuangan dengan membahas asumsi dasar RUU APBN tahun 2023. Peningkatan daya listrik ini merupakan usul dari Ketua Banggar DPR, Said Abdullah dengan alasan bahwa pasokan listrik saat ini sudah melebihi kapasitas dan perlu penyerapan pasokan listrik yang over supply ini.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal beranggapan bahwa adanya peningkatan daya listrik dari 450 VA menjadi 900 VA justru menekan daya beli serta kesejahteraan masyarakat golongan menengah ke bawah. Mereka terbilang tidak masuk DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial), sehingga tidak mendapatkan subsidi dan merasa terbebani dengan adanya peningkatan tarif listrik 900 VA.Â
Dengan adanya pengalihan daya listrik ini juga akan memberikan beban lebih dalam pengelolaan APBN, karena keseluruhan penerima subsidi menggunakan daya listrik sebesar 900 VA. Mohammad Faisal menekankan kepada pemerintah agar fokus dalam melindungi daya beli masyarakat dengan memanfaatkan kapasitas fiskal yang tersedia, bukan menugaskan mereka menyerap listrik yang over supply yang tidak dibarengi dengan kemampuan konsumsinya yang naik.
Dampak lain yang perlu diperhatikan adalah distribusi listrik yang masih belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Program subsidi ini akan dirasa kurang maksimal jika pembangunan listrik yang kurang masif. Selain itu, program subsidi ini dirasa kurang kebermanfaatannya bagi pedagang kaki lima. Bukannya membantu tapi program ini akan memberikan masalah baru bagi sebagian kelompok masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya mengkaji ulang kembali program ini dengan harapan mewujudkan kesejahteraan secara merata baik di jangka pendek maupun panjang.
Referensi