Salah satu sumber penerimaan terbesar negara adalah berasal dari pajak. Pajak dapat diartikan sebagai pungutan yang dilakukan oleh negara kepada warga negaranya berdasarkan undang-undang yang mana atas pungutan tersebut negara tidak memberikan kontraprestasi secara langsung kepada warga negaranya (Mardiasmo, 2016).Â
Kontribusi pajak terhadap pendapatan negara kian vital. Dalam postur APBN 2021, realisasi penerimaan pajak tercatat telah mencapai Rp 1.2 Triliun atau tumbuh 19.2 persen dari penerimaan pajak tahun 2020 yang mencapai Rp 1.07 Triliun akibat covid-19 (Kemenkeu, 2022).Â
Hal tersebut mengindikasikan bahwa segala biaya yang dibutuhkan pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan dan menyediakan akses layanan dasar bagi masyarakat, sangat bergantung pada penerimaan perpajakan (Agung, 2007).Â
Namun tingkat kesadaran masyarakat akan wajib membayar pajak masih jauh dari harapan. Apabila dibandingkan dengan aktivitas perekonomiannya, Indonesia belum mampu menghimpun penerimaan pajak dalam jumlah yang ideal (Permana, 2020).Â
Hal tersebut disebabkan karena kondisi perekonomian Indonesia yang melemah dan kurangnya kesadaran masyarakat untuk membayar pajak. Kepatuhan masyarakat terhadap pajak memang sudah menjadi isu lama yang selalu bergulir setiap tahun ketika laporan realisasi pajak itu dipublikasikan.Â
Sebagian besar masyarakat menilai bahwa pajak dianggap sebagai hal yang menakutkan mayoritas masyarakat Indonesia hingga saat ini. Masyarakat mengasumsikan bahwa pajak itu tidak adil, pajak itu menyengsarakan, pajak itu semata hanyalah kuasi para pembuat kebijakan dalam mempermudah kepentingan pemangku kekuasaan, atau bahkan kata-kata yang menyebut dan mempertanyakan pentingnya pajak masih sering kita dengar.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga yang berhubungan dengan perpajakan. Salah satu kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam menaikkan penerimaan negara yaitu kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Tax amnesty merupakan kebijakan pemerintah yang digunakan untuk menghimpun penerimaan negara dalam waktu yang cepat (Pravasant, 2018).Â
Tax amnesty dilakukan karena berbagai faktor, yaitu: banyaknya aktivitas underground economy atau penggelapan pajak (tax evasion), pelarian modal ke luar negeri (capital flight), rekayasa transaksi keuangan, serta politik penganggaran untuk menghadapi kontraksi anggaran negara yang sedang terjadi.Â
Mattiello (2005) menyatakan bahwa kebijakan tax amnesty mempunyai manfaat jangka panjang dan jangka pendek. Dalam jangka pendek, tax amnesty dapat meningkatkan penerimaan negara serta kepatuhan wajib pajak, dan dalam waktu jangka panjangnya, wajib pajak tidak dapat menghindari kewajiban perpajakannya dikarenakan data harta wajib pajak sudah dilaporkan kepada pemerintah di tahun sebelumnya.
Kebijakan Tax Amnesty pertama kali berlaku di Indonesia pada tahun 1964. Di Era pemerintahan Soekarno, kebijakan ini dikeluarkan untuk mengembalikan dana revolusi pada saat itu.Â
Tax Amnesty tidak berjalan dengan baik, sehingga dilakukan kembali pada tahun 1984. Pada tahun 1984 ini, kebijakan Tax Amnesty selain untuk memperoleh penerimaan pajak, juga mengubah sistem perpajakan yang berlaku, yaitu dari Official Assessment System (perhitungan besarnya jumlah pajak ditentukan oleh pemerintah) menjadi Self Assessment System (perhitungan besar pajak dilakukan oleh wajib pajak sendiri).Namun tax amnesty yang dilakukan pada tahun 1984, masih belum sempurna dikarenakan adanya dugaan KKN (Pravasanti, 2018).Â