Mohon tunggu...
Dnadyaksa Tirtapavitra
Dnadyaksa Tirtapavitra Mohon Tunggu... Jurnalis Independen -

daydreamer, onlinewalking, opportunist, sometimes tricky...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pahlawan dan Matahari

15 November 2015   02:05 Diperbarui: 15 November 2015   07:39 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya terkejut beberapa hari lalu saat seorang kawan lama -teman kuliah tepatnya- yang tiba-tiba mengirimkan pesan di ponsel saya dan bertanya, "Wah jadi pengurus yayasan sekarang? mau jadi pahlawan? hehe." jujur saya terperanjat, dalam hati saya berpikir pertanyaan dari kawan lama ini lebih pada bentuk sinisme, meskipun pada akhirnya saya yakin dan berpikir positif bahwa kawan ini sekedar bercanda, setelah tahu beberapa hari ini saya aktif di Yayasan Rumah Peneleh, yayasan yang diinisiasi dan dibangun atas dasar keresahan pada kondisi negeri ini.

Barangkali masih banyak orang-orang di sekitar kita yang masih berpikir bahwa hadirnya orang baik, atau yang dianggap baik, bahkan dianggap pahlawan sekalipun tak lebih dari rekam jejak self interest, hasrat untuk ingin dikenal dan dipuji orang lain. Atau embel-embel lain yang dianggap tak lebih dari sekedar pencitraan seperti seringkali dilakukan politikus dan mereka yang merasa punya kepentingan untuk meraih sesuatu.

Sinisme orang di negeri ini bukanlah hal yang luar biasa, bagi saya itu merupakan bagian dari dinamika di negara berkembang, dimana masih banyak orang yang kelebihan waktu untuk 'sekedar bekerja' dan meluangkan waktunya hanya untuk melihat dan mengkritisi orang lain di sekitarnya. Tak ubahnya dalam keseharian kita yang mengeluh di bawah terik matahari.

Meskipun fenomena seperti ini juga lazim di negara maju, dengan intensitas yang mungkin lebih sedikit, kita tak dapat seterusnya membiasakan hal ini sebagai kebiasaan yang hemat saya kurang baik, bagi sebagian orang mungkin kurang berkenan. Apa tak seharusnya waktu luang itu digunakan untuk mengkritisi pemikiran orang lain atau merefleksikannya dalam kehidupannya sendiri, bukan terhadap motif tindakannya yang bahkan kita sendiri tidak tahu, selama itu baik.

Sinis adalah gejala akut psikologis seorang yang dalam intensitas yang berlebihan malah akan mengkerdilkan pribadi itu sendiri, begitupun dengan negeri ini. Ada banyak hal yang dapat kita lakukan untuk negeri ini daripada hanya 'sekedar bekerja' lalu bersikap apatis dan berkomentar terhadap apa yang dilakukan orang lain.

Jika boleh saya meminjam fragmen dalam novel "Guruku Matahari Bangsaku" karya Dra. Afiah Ismy:

"Pahlawan tidak harus berperang, melainkan dialah yang yang senantiasa berbuat baik, mengabdi dan berjasa bagi bangsa dan negara. Dan sekarang karena kemerdekaan itu sudah kita peroleh, maka kewajiban kita, kewajiban kalian adalah mengisi kemerdekaan itu. Membangun negara, meningkatkan pendidikan dan lain-lain."

"Kita juga harus seperti mereka Han. Tertib, disiplin. Tidak ada yang menoleh kanan dan kiri. Tidak ada yang berbaris sambil ngomong."

Apakah mungkin dengan hanya memberi komentar kepada orang lain bisa membuat kita lebih baik? jika kita tak juga menjadikan hal itu sebagai motivasi untuk diri kita sendiri. Apakah mungkin keadaan negeri ini bisa lebih baik? jika kita hanya mampu mengkritik pemerintah tanpa memberikan pemikiran dan solusi yang lebih tepat. Atau hanya itu yang bisa kita lakukan? mengkritik tanpa upaya apapun untuk membuat segalanya jadi lebih baik?

Selamat Hari Pahlawan!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun