Mohon tunggu...
Dewi Nurita Piliang
Dewi Nurita Piliang Mohon Tunggu... Guru - Simple

hanya sekelumit debu yang berusaha menjadi berguna ll Dreamer, Writer, Vounteer, Teacher. ll Pemimpi yang gila juga penggila kata ll

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Maruntung Sihombing : Bukan Pengabdian “Panas-panas Tahi Ayam”

24 Januari 2016   09:37 Diperbarui: 24 Januari 2016   15:08 1392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nyaris dua tahun berada di sana, beliau kabarkan sudah membulatkan tekad untuk menetap dan mengabdikan diri di sana. Rupanya hati telah terpaut dengan pesona negeri Raja Ampat itu. Meskipun masih "anak kemarin sore" dan baru seusia jagung menetap dan mengabdi di Bumi Cenderawasih itu. Jiwa pengabdiannya jangan ditanya. Sebagai guru kontrak sebelumnya, tentu waktu pengabdiannya terbatas kontrak. Namun ia mengambil sebuah keputusan untuk menetap dan tinggal di sana untuk waktu yang tidak terbatas. Tidak terikat kontrak dan terbatas oleh waktu yang ditentukan.

Mengambil keputusan seperti itu bukan perkara mudah tentunya. Tinggal di sebuah pedalaman dengan segala keterbatasan, jauh dari akses internet, mengharapkan air hujan untuk minum, siang malam makan ubi, mencari kayu bakar untuk memasak, dan sewaktu-waktu harus was-was karena masih sering terjadi perang suku, sementara teman-teman seperjuangannya sudah kembali pulang ke kota masing-masing dan bertemu dengan keluarga mereka.

Dengan usia yang masih sangat muda, tentu bukan dengan pertimbangan yang sedikit. Dibutuhkan kematangan mental dan pemikiran yang matang, hidup jauh terpisah dari sanak keluarga di Sumatera Utara. Namun baginya, melakukan pelayanan di tanah Papua adalah tugas "memikul salib". Tidak hanya menjadi pendidik, beliau di sana juga menjadi gembala gereja baptis Papua, dan pembina pemuda gereja.

Beliau adalah sosok yang selalu gelisah. Gelisah untuk dapat berbuat ini-itu, mengaplikasikan ide yang terus saja beranak-pinak di kepalanya untuk bagaimana anak-anak Papua bisa maju, khususnya melalui jalur pendidikan.

Baginya, Papua butuh kain dan bukannya ikan. Papua mereka tidak perlu diberi uang dan materi berlimpah, tapi mereka butuh upaya pencerdasan dan pemberdayaan serta kemampuan yang mumpuni untuk dapat menjadi manusia yang adil berkualitas dan berkompeten. Mereka tidak butuh bedil, tapi mereka butuh pendekatan yang humanis dan manusiawi. Jika guru-guru menunggu siswanya di sekolah, bahkan Maruntung Sihombing pun sampai berjalan kaki menjemput siswa ke rumahnya.

Seperti apa yang dikatakan, Anies baswedan, “Mimpi jangan sampai pada gagasan saja, tapi harus berani mengubah gagasan yang berintegritas menjadi kenyataan yang lebih bermanfaat untuk orang banyak.” Ya, intinya berani mengeksekusi ide. Tidak hanya di pikiran, dan direalisasikan semampunya. Ia tak mau hanya ‘panas-panas tahi ayam’. Ia selalu bilang, berlakulah di luar normatif, berpikirlah di luar batas normal, dan jangan terjebak dalam rutinitas semu. Kalau dalam peribahasa orang Batak katanya "Eme namasak digagat ursa, I namasa I niula". Melalui beliau, saya belajar untuk berhenti mengutuki kegelapan, biar kita yang mendatangi kegelapan itu dan berjabat tangan dengannya. Segala upaya tersebut pun berbuah manis, belum genap setahun di sana beliau dan kawan-kawan SM3T Unimed pun sempat memecahkan 2 Rekor MURI di bidang pendidikan dalam Kegiatan Gerakan Membaca 1000 Anak Papua.


Gambar: Maruntung dan teman-teman SM-3T memecahkan REKOR MURI dalam kegiatan GEMA 1000 Anak Papua.

Tidak Cukup sampai di sana, Maruntung Sihombing pun seringkali menumpahkan kegelisahannya itu dalam bentuk tulisan dan dikirim dalam bentuk opini ke media massa. Tulisan beliau pun kerap kali ‘nangkring di media massa ternama di Kota Medan seperti Harian Analisa. Beliau berharap suaranya itu dapat didengar. Betapa miris, negeri yang kaya emas itu, tapi anak-anaknya terbelenggu buta aksara. Sebuah alasan mengapa ia memilih mengabdi di Papua bukan di kampungnya. Karena di sana darurat dalam segala hal, terlebih pendidikan. Jika di Sumatera misalnya masih banyak tenaga pendidik yang menganggur. Berbeda dengan Papua, saking minimnya yang bukan keguruan saja dijadikan sebagai guru, yang SMA pun banyak.

Gambar: Maruntung dan siswa-siswanya belajar di alam.

Namun di balik semua pengorbanan itu, ada satu hal yang membuat Maruntung sangat betah di Papua, yaitu karakter anak-anak Papua yang mulia. Siswa kulit hitam keriting rambut itu paling tidak tega melihat guru sengsara. Saat mengangkat barang, mengambil air, mengambil kayu, anak-anak selalu membantu, hingga mereka menyediakan sayur-mayur untuk Bapak Guru mereka. Sebuah bukti mereka haus ilmu, butuh guru.

Satu hal lagi yang membuatnya ingin mengabdi tanpa akhir di sana, senyum dan tawa mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun