Mohon tunggu...
Dewi Nurita Piliang
Dewi Nurita Piliang Mohon Tunggu... Guru - Simple

hanya sekelumit debu yang berusaha menjadi berguna ll Dreamer, Writer, Vounteer, Teacher. ll Pemimpi yang gila juga penggila kata ll

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Maruntung Sihombing : Bukan Pengabdian “Panas-panas Tahi Ayam”

24 Januari 2016   09:37 Diperbarui: 24 Januari 2016   15:08 1392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menggapai mimpi adalah tujuan semua orang. Sejak aku kecil hingga hari ini, orang-orang selalu bilang begitu, tapi nyatanya tidak banyak yang bisa menggapainya. Hanya sedikit. Di bangku kuliah, aku bertemu dengan banyak orang yang punya mimpi. Mimpi yang sangat besar. Anehnya, bukan hanya mimpinya, mimpi orang lain pun ingin diwujudkannya. Mimpinya adalah mewujudkan mimpi orang lain. Ah, betapa mulianya..

Orang-orang hebat seperti itu ternyata masih banyak di sekitarku, membuka mataku untuk ikut seperti mereka. Tidak hanya berpikir untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang lain yang membutuhkan kita. Dari mereka, aku belajar, ternyata bahagia itu sederhana, cukup dengan melihat orang lain tersenyum, bahagia. Itu saja. Tidak ada yang lain, bagi mereka yang tidak tuli nurani.

Maruntung Sihombing adalah salah satunya. Inspirator sekaligus seniorku di Universitas Negeri Medan. Seorang pemuda yang sangat bersemangat untuk mendidik anak-anak di pedalaman Papua yang masih tertinggal, tepatnya di daerah Kabupaten Lanny Jaya, Papua. Bermodalkan program SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) yang diadakan oleh pemerintah, beliau dengan yakin mengabdikan diri di sana.

Suatu kali ia pulang ke Medan dan berbagi pengalaman yang sungguh luar biasa. Aku pun seakan terhanyut dan ikut merasakan apa yang diderita anak-anak Papua. Ia ingin berbagi, aku dan kawan-kawan komunitas memfasilitasinya untuk melakukan diskusi sederhana. Merinding. Mendengarnya bercerita. Anak-anak Papua di sana tidak mengenal negara Indonesia, yang ada bagi mereka hanyalah negara Papua.

Suatu kali ia mengajar dan bertanya kepada murid-muridnya, “Kau orang punya negara apakah?”
“Kita orang Pu Negara Papua, Bapak Guru!” jawab mereka semua dengan logat Papua.
“Kau orang punya bendera apa?” tanyanya lagi.
“Bintang Kejora!” timpal mereka.

Seketika beliau terdiam dan nyaris meneteskan air mata. Ternyata mutiara-mutiara hitam itu sudah terlalu lama terlupakan. Hingga mereka berpikir bahwa negara mereka adalah Papua. Sebuah ironi, ketika sebuah bangsa tidak hadir dalam kehidupan anak-anak bangsanya sendiri. Hingga bendera bagi mereka pun bukanlah merah putih, tapi bintang kejora. Mungkin karena hanya bendera itu saja yang selalu melambai-lambai di negeri mereka.

Tapi, tidak cukup hanya diam dan membiarkan mereka hanyut dalam pikiran itu. Maruntung langsung mengeluarkan sebuah peta dan menunjukkan kepada murid-muridnya bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia. Negara mereka juga Indonesia, bukan negara Papua. Bendera mereka juga bendera merah putih, dan bukan Bintang Kejora.

Murid-murid Maruntung, mereka tak punya seragam, apalagi sepatu. Suatu kali ia memutarkan video yang diambilnya sendiri. Ia tanyakan apa yang diinginkan anak-anak Papua seandainya presiden mendengar mereka. Mereka menjawab, “Aku ingin sepatu, Pak Presiden,” “Aku ingin bola,” “Aku ingin punya seragam.” Hanya itu yang mereka minta. Tidak lebih. Sesederhana itu yang ingin mereka punya. Sesuatu hal yang didapat dengan mudah oleh anak-anak di luar sana.

Apa yang telah dilakukan negara pada mereka? Letak geografis yang tak terjangkau transportasi jadi alasan. Rasionalkah alasan itu, dinyatakan kepada mereka? Hanya air mata yang waktu itu menetes. Maruntung Sihombing berjuang, memberi mereka seragam. Bukan dari pemerintah Indonesia. Tapi dengan bantuan donasi beberapa negara tetangga. Belum cukup tertamparkah negara kita? Beliau bersama teman-teman dari Apikita-HK (Aspirasi Pelajar Indonesia Kita, Hongkong) akhirnya mendapatkan bantuan dari Hongkong. Dan akhirnya mereka bisa memakai seragam merah putih untuk bersekolah. Memakai dasi dan melemparkan topi untuk pertama kalinya, tak terduga terharu bahagia melihat cerita dan fotonya yang di-posting di sosial media waktu itu.

Gambar: Maruntung bersama anak-anak Papua melempar topi sebagai tanda bahagia untuk pertama kalinya mereka dapat memakai seragam untuk sekolah

Nyaris dua tahun berada di sana, beliau kabarkan sudah membulatkan tekad untuk menetap dan mengabdikan diri di sana. Rupanya hati telah terpaut dengan pesona negeri Raja Ampat itu. Meskipun masih "anak kemarin sore" dan baru seusia jagung menetap dan mengabdi di Bumi Cenderawasih itu. Jiwa pengabdiannya jangan ditanya. Sebagai guru kontrak sebelumnya, tentu waktu pengabdiannya terbatas kontrak. Namun ia mengambil sebuah keputusan untuk menetap dan tinggal di sana untuk waktu yang tidak terbatas. Tidak terikat kontrak dan terbatas oleh waktu yang ditentukan.

Mengambil keputusan seperti itu bukan perkara mudah tentunya. Tinggal di sebuah pedalaman dengan segala keterbatasan, jauh dari akses internet, mengharapkan air hujan untuk minum, siang malam makan ubi, mencari kayu bakar untuk memasak, dan sewaktu-waktu harus was-was karena masih sering terjadi perang suku, sementara teman-teman seperjuangannya sudah kembali pulang ke kota masing-masing dan bertemu dengan keluarga mereka.

Dengan usia yang masih sangat muda, tentu bukan dengan pertimbangan yang sedikit. Dibutuhkan kematangan mental dan pemikiran yang matang, hidup jauh terpisah dari sanak keluarga di Sumatera Utara. Namun baginya, melakukan pelayanan di tanah Papua adalah tugas "memikul salib". Tidak hanya menjadi pendidik, beliau di sana juga menjadi gembala gereja baptis Papua, dan pembina pemuda gereja.

Beliau adalah sosok yang selalu gelisah. Gelisah untuk dapat berbuat ini-itu, mengaplikasikan ide yang terus saja beranak-pinak di kepalanya untuk bagaimana anak-anak Papua bisa maju, khususnya melalui jalur pendidikan.

Baginya, Papua butuh kain dan bukannya ikan. Papua mereka tidak perlu diberi uang dan materi berlimpah, tapi mereka butuh upaya pencerdasan dan pemberdayaan serta kemampuan yang mumpuni untuk dapat menjadi manusia yang adil berkualitas dan berkompeten. Mereka tidak butuh bedil, tapi mereka butuh pendekatan yang humanis dan manusiawi. Jika guru-guru menunggu siswanya di sekolah, bahkan Maruntung Sihombing pun sampai berjalan kaki menjemput siswa ke rumahnya.

Seperti apa yang dikatakan, Anies baswedan, “Mimpi jangan sampai pada gagasan saja, tapi harus berani mengubah gagasan yang berintegritas menjadi kenyataan yang lebih bermanfaat untuk orang banyak.” Ya, intinya berani mengeksekusi ide. Tidak hanya di pikiran, dan direalisasikan semampunya. Ia tak mau hanya ‘panas-panas tahi ayam’. Ia selalu bilang, berlakulah di luar normatif, berpikirlah di luar batas normal, dan jangan terjebak dalam rutinitas semu. Kalau dalam peribahasa orang Batak katanya "Eme namasak digagat ursa, I namasa I niula". Melalui beliau, saya belajar untuk berhenti mengutuki kegelapan, biar kita yang mendatangi kegelapan itu dan berjabat tangan dengannya. Segala upaya tersebut pun berbuah manis, belum genap setahun di sana beliau dan kawan-kawan SM3T Unimed pun sempat memecahkan 2 Rekor MURI di bidang pendidikan dalam Kegiatan Gerakan Membaca 1000 Anak Papua.


Gambar: Maruntung dan teman-teman SM-3T memecahkan REKOR MURI dalam kegiatan GEMA 1000 Anak Papua.

Tidak Cukup sampai di sana, Maruntung Sihombing pun seringkali menumpahkan kegelisahannya itu dalam bentuk tulisan dan dikirim dalam bentuk opini ke media massa. Tulisan beliau pun kerap kali ‘nangkring di media massa ternama di Kota Medan seperti Harian Analisa. Beliau berharap suaranya itu dapat didengar. Betapa miris, negeri yang kaya emas itu, tapi anak-anaknya terbelenggu buta aksara. Sebuah alasan mengapa ia memilih mengabdi di Papua bukan di kampungnya. Karena di sana darurat dalam segala hal, terlebih pendidikan. Jika di Sumatera misalnya masih banyak tenaga pendidik yang menganggur. Berbeda dengan Papua, saking minimnya yang bukan keguruan saja dijadikan sebagai guru, yang SMA pun banyak.

Gambar: Maruntung dan siswa-siswanya belajar di alam.

Namun di balik semua pengorbanan itu, ada satu hal yang membuat Maruntung sangat betah di Papua, yaitu karakter anak-anak Papua yang mulia. Siswa kulit hitam keriting rambut itu paling tidak tega melihat guru sengsara. Saat mengangkat barang, mengambil air, mengambil kayu, anak-anak selalu membantu, hingga mereka menyediakan sayur-mayur untuk Bapak Guru mereka. Sebuah bukti mereka haus ilmu, butuh guru.

Satu hal lagi yang membuatnya ingin mengabdi tanpa akhir di sana, senyum dan tawa mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun