Menggapai mimpi adalah tujuan semua orang. Sejak aku kecil hingga hari ini, orang-orang selalu bilang begitu, tapi nyatanya tidak banyak yang bisa menggapainya. Hanya sedikit. Di bangku kuliah, aku bertemu dengan banyak orang yang punya mimpi. Mimpi yang sangat besar. Anehnya, bukan hanya mimpinya, mimpi orang lain pun ingin diwujudkannya. Mimpinya adalah mewujudkan mimpi orang lain. Ah, betapa mulianya..
Orang-orang hebat seperti itu ternyata masih banyak di sekitarku, membuka mataku untuk ikut seperti mereka. Tidak hanya berpikir untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang lain yang membutuhkan kita. Dari mereka, aku belajar, ternyata bahagia itu sederhana, cukup dengan melihat orang lain tersenyum, bahagia. Itu saja. Tidak ada yang lain, bagi mereka yang tidak tuli nurani.
Maruntung Sihombing adalah salah satunya. Inspirator sekaligus seniorku di Universitas Negeri Medan. Seorang pemuda yang sangat bersemangat untuk mendidik anak-anak di pedalaman Papua yang masih tertinggal, tepatnya di daerah Kabupaten Lanny Jaya, Papua. Bermodalkan program SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) yang diadakan oleh pemerintah, beliau dengan yakin mengabdikan diri di sana.
Suatu kali ia pulang ke Medan dan berbagi pengalaman yang sungguh luar biasa. Aku pun seakan terhanyut dan ikut merasakan apa yang diderita anak-anak Papua. Ia ingin berbagi, aku dan kawan-kawan komunitas memfasilitasinya untuk melakukan diskusi sederhana. Merinding. Mendengarnya bercerita. Anak-anak Papua di sana tidak mengenal negara Indonesia, yang ada bagi mereka hanyalah negara Papua.
Suatu kali ia mengajar dan bertanya kepada murid-muridnya, “Kau orang punya negara apakah?”
“Kita orang Pu Negara Papua, Bapak Guru!” jawab mereka semua dengan logat Papua.
“Kau orang punya bendera apa?” tanyanya lagi.
“Bintang Kejora!” timpal mereka.
Seketika beliau terdiam dan nyaris meneteskan air mata. Ternyata mutiara-mutiara hitam itu sudah terlalu lama terlupakan. Hingga mereka berpikir bahwa negara mereka adalah Papua. Sebuah ironi, ketika sebuah bangsa tidak hadir dalam kehidupan anak-anak bangsanya sendiri. Hingga bendera bagi mereka pun bukanlah merah putih, tapi bintang kejora. Mungkin karena hanya bendera itu saja yang selalu melambai-lambai di negeri mereka.
Tapi, tidak cukup hanya diam dan membiarkan mereka hanyut dalam pikiran itu. Maruntung langsung mengeluarkan sebuah peta dan menunjukkan kepada murid-muridnya bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia. Negara mereka juga Indonesia, bukan negara Papua. Bendera mereka juga bendera merah putih, dan bukan Bintang Kejora.
Murid-murid Maruntung, mereka tak punya seragam, apalagi sepatu. Suatu kali ia memutarkan video yang diambilnya sendiri. Ia tanyakan apa yang diinginkan anak-anak Papua seandainya presiden mendengar mereka. Mereka menjawab, “Aku ingin sepatu, Pak Presiden,” “Aku ingin bola,” “Aku ingin punya seragam.” Hanya itu yang mereka minta. Tidak lebih. Sesederhana itu yang ingin mereka punya. Sesuatu hal yang didapat dengan mudah oleh anak-anak di luar sana.
Apa yang telah dilakukan negara pada mereka? Letak geografis yang tak terjangkau transportasi jadi alasan. Rasionalkah alasan itu, dinyatakan kepada mereka? Hanya air mata yang waktu itu menetes. Maruntung Sihombing berjuang, memberi mereka seragam. Bukan dari pemerintah Indonesia. Tapi dengan bantuan donasi beberapa negara tetangga. Belum cukup tertamparkah negara kita? Beliau bersama teman-teman dari Apikita-HK (Aspirasi Pelajar Indonesia Kita, Hongkong) akhirnya mendapatkan bantuan dari Hongkong. Dan akhirnya mereka bisa memakai seragam merah putih untuk bersekolah. Memakai dasi dan melemparkan topi untuk pertama kalinya, tak terduga terharu bahagia melihat cerita dan fotonya yang di-posting di sosial media waktu itu.
Gambar: Maruntung bersama anak-anak Papua melempar topi sebagai tanda bahagia untuk pertama kalinya mereka dapat memakai seragam untuk sekolah