Mohon tunggu...
Dewi Nurita Piliang
Dewi Nurita Piliang Mohon Tunggu... Guru - Simple

hanya sekelumit debu yang berusaha menjadi berguna ll Dreamer, Writer, Vounteer, Teacher. ll Pemimpi yang gila juga penggila kata ll

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta yang Diratapi

10 Januari 2016   15:31 Diperbarui: 10 Januari 2016   15:43 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Apakah kau pernah jatuh cinta?”
Tidak pernah, Sebelumnya.
“Lalu bagaimana kau tahu begitu banyak tentang cinta?
Aku hanya suka membaca tentang cinta.

 

Kau tahu, langit tak bertiang itu jadi saksinya ketika kau bilang, “Cinta membuat kita tidak sendiri meskipun menurut Chairil Anwar hidup adalah kesunyian masing-masing”, tapi aku tidak percaya. saat itu.

Malam itu kita berdiskusi tentang cinta. Aku bertanya padamu, kenapa juliet begitu bodoh mengikuti romeo yang meninggal dan membunuh dirinya dengan belati, ataupun isolde yang meninggal karena kesedihan dan cintanya pada Tristan, majnun yang menjemput ajalnya di pusara laila. Semua itu tidak bisa ku mengerti mengapa seseorang rela saling mengorbankan dirinya untuk pasangannya, apakah mereka tidak punya tuhan? Apakah cinta itu tuhan mereka? Apakah tidak ada yang lebih berarti di dalam hidup mereka selain pasangannya? Sahabat, cita-cita, orangtua, atau saudara mungkin?” malam itu, pertanyaanku bertubi-tubi padamu. Tapi kau hanya diam, dan tersenyum sambil menatap bintang yang berkedip mesra padamu.

Aku tanya kenapa kau tidak menjawab? Kau diam saja. Aku merengut, dan duduk di tepian atap. “Cinta memang tidak masuk akal” gumalku sendiri.
Tapi kali itu, kau tidak diam. Katamu, “Cinta memang bukan bagian dari struktur rasio. Cinta itu bagian non-rasional dari dalam fakultas manusia. Cinta yang membuat romeo dan Juliet menjadi legenda. Cintalah yang membuat semesta realitas menjelma. Sesuatu yang tidak mungkin diungkapkan, dan tidak perlu diungkapkan. Cukup dirasakan, dinikmati, dan diratapi. Setidaknya itulah cinta menurut sang alchemist. Pernahkah kau mendengarnya?” tanyamu padaku

“Tidak, . buku apa lagi yang kau baca itu? Aku tidak pernah mendengarnya. Aku tidak ingin mendengarnya. Sudahlah, berhenti berbicara dan mulai bertindak.” ujarku kesal

Tiba-tiba kau menarik tanganku, dan membawa tubuhku dalam pelukanmu.
“Tak perlu kuungkapkan, cukup kau rasakan. Karna kau dan aku, sebuah kemustahilan” bisikmu.
“Kalau begitu, biar kuratapi saja cinta ini” balasku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun