Ketok palu MK, menolak setiap gugatan PT 0% termasuk yang terakhir gugatan dari Ketua DPD RI La Nyala Mataliti dan Prof. Yusril Ihza Mahendra, sudah barangtentu membuat prihatin setiap anak bangsa yang pro demokrasi. Namun demikian, walaupun tuntutan-tuntutan itu kalah dalam mekanisme sidang MK, sudah barangtentu tidak akan pernah mematikan idealisme gerakan yang realistis ini.
Tuntutan PT 0%, bukanlah perjuangan kepentingan politis parsial, tapi tuntutan ini sangat fundamental, untuk menciptakan sistem demokrasi yang sehat, berdasarkan kepada eksistensi basis kedaulatan Rakyat.Â
Prinsip inilah yang merupakan paradigma reformasi 98, yang berkehendak menciptakan sistem demokrasi kerakyatan di Indonesia. Melihat konsepsi ideal dari tuntutan PT 0%, bukan hal mustahil dalam menyongsong 2024, akan tumbuh kesadaran gerakan yang kuat, dan kemudian menggelinding Reformasi Jilid 2.Â
Jika gerakan ini terjadi, tentu tidak ada yang bisa menghalangi kehendak rakyat sejati, semuanya akan di gilas, terlebih hanya sekedar ketuk palu MK, bahkan presiden pun, perlu  mengeluarkan PERPU, untuk mengamini sejatinya kehendak rakyat, sebagai yang berdaulat di negeri ini.
Flash back, perjuangan reformasi 98 yang demikian heroik, hingga menumpahkan darah para mahasiswa sebagai pahlawan reformasi, esensinya adalah untuk meruntuhkan hegemoni orde baru, yang mana pada sa'at itu oligarki orde baru mampu menseting pemilihan presiden lima tahunan secara berulang, sekedar seremonial pat gulipat ketuk palu MPR. Reformasi 98 di picu sidang MPR tahun 1996, yang seperti biasanya terjadi koor  menetapkan kembali secara aklamasi Soeharto sebagai presiden, dengan logika klasik politik untuk melanjutkan pembangunan yang sudah berhasil dilakukan orde baru.Â
Melihat sandiwara tersebut, seluruh rakyat pro demokrasi merasa muak, dan tidak kenal lelah berjuang, bergerak dan melawan hegemoni oligarki orde baru ini, yang akhirnya terakumulasi dengan ledakan sosial politik di tahun 1998, yang merupakan gerakan kedaulatan rakyat meruntuhkan sistem lama, mengganti dengan sistem baru, melalui amandemen UUD 1945.
Sekira 25 tahun kemudian, di tahun 2022 dan 2023 sekarang ini, melihat gejala-gejala yang ada, bukan hal yang mustahil akan terjadi gelombang kuat Reformasi Jilid dua, sebagai evaluasi dan tindak lanjut penyempurnaan Reformasi 98, hal ini di picu akibat dari tuli dan butanya MK, yang sama sekali tidak mendengar dan melihat aspirasi rakyat melalui gugatan-gugatan beruntun, hingga di sampaikan oleh institusi DPD RI, yang notabene bisa mewakili rakyat pro demokrasi.
Sandiwara politik oligarki saat ini, yang berlindung dalam UU Pemilu PT 20%, sangat memuakkan bagi para aktifis pro demokrasi, bagaimana tidak, calon-calon presiden bakal di formulasikan sesuai kepentingan ekonomi konglomerasi yang sa'at ini populer bernama oligarki.Â
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tentu saja sangat sulit di wujudkan manakala konglomerasi yang sudah menguasai ekonomi negara di kisaran 70% hingga 80%, semakin kokoh mencengkram Indonesia, yang di dukung oleh penguasa berutang budi ongkos politik terhadap oligarki.Â
Nasib 270 juta rakyat Indonesia, yang sa'at ini cuma mampu berebut dengan keringat dan darah, dalam kisaran 20% hingga 30% ekonomi negara, akan semakin berat, bahkan bisa jadi ekonominya semakin menyusut  hingga cuma 10% saja. Bayangkan betapa tidak adilnya ? kemajuan negara hanya dinikmati segelintir orang yang bernama oligarki sekira 200 orang konglomerat, yang kaya semakin kaya, dan yang miskin akan semakin miskin, jika pemimpin bangsa ini, hanyalah boneka yang melindungi kepentingan oligarki.
Kalau kita rakyat Indonesia mampu melihat sandiwara politik PT 20%, made in oligarki sangat memprihatinkan. Sekarang terlihat bagaimana kasak kusuk partai, untuk melahirkan tiga paslon saja sulit sekali, dan bisa jadi akhirnya memakai lagu lama cuma dua pasangan calon saja, sebagaimana halnya pilpres 2014 dan pilpres 2019.Â
Bahkan sekarang gejalanya sudah tercium, manakala partai-partai mulai menafikan popularitas dan elektabilitas hasil dari perhitungan lembaga-lembaga survey yang notabene pilihan rakyat untuk sementara.Â
Dengan menguatnya hegemoni partai-partai yang mengangkat isue ideologis yang dilindungi UU Pemilu PT 20% ini, bisa saja pada akhirnya calon-calon populer seperti Ganjar, Anies dan Ridwan Kamil tumbang tidak bisa mencalonkan presiden, akibat tidak ada partai yang mencalonkannya, skenario ini sudah mulai terlihat.Â
Sebenarnya kepentingan ideologis partai jika mau jujur, dengan PT 0% akan lebih mengental dan sangat kuat, jauh sekali di banding kegalauan partai yang terjadi dalam pencalonan presiden dengan sistem PT 20%. Sistem PT 0% mendorong setiap partai untuk percaya diri di dalam mencalonkan presidennya masing-masing.
Hegemoni partai dalam sistem PT 20%, naga-naganya mulai jelas terlihat manakala paslon Prabowo dan Cak Imin diterbitkan koalisi Gerindera dan PKB, keduanya kita semua tahu sebagai ketua umum partai. Paslon ini sudah memenuhi syarat perundang-undangan, indikasinya akan di lawan oleh paslon perkawinan dari PDIP dan KIB dengan paslon  Puan dan Airlangga yang merupakan pimpinan partai juga.Â
Kemudian Nasdem pada akhirnya di prediksi akan merapat mendukung Paslon Puan dan Airlangga, dengan menerima jatah minimal tiga menteri, daripada harus capek-capek membangun koalisi oposisi bersama PKS dan Demokrat untuk mendukung pencapresan Anies. Hal ini terlihat jelas dengan Nasdem yang ogah tak ogah, untuk membangun koalisi bersama PKS dan Demokrat, walaupun ketum Demokrat dan ketum PKS berulang kali sowan mengunjungi ketum Nasdem, untuk menawarkan koalisi.
Kemudian partai oposisi Demokrat dan PKS yang tidak bisa menjadi perahu, karena jumlah kursi DPR nya kurang dari 20%, otomatis akan di kawin paksa oleh Gerindera dan PKB, dengan komitmen bagi Demokrat dan PKS, sangat wajar punya jatah minimal tiga menteri, manakala paslon Prabowo dan Cak Imin mampu memenangkan pilpres 2024.Â
Dengan skenario hegemoni partai ini sudah jelas Anies, Ganjar dan Ridwan Kamil, tidak bisa mencalonkan presiden walaupun ketiganya sangat populer, dan arah skenarionya bagi ketiganya hanya menjadi vote getter dari kedua kubu, dengan komitmen jika menang kubu yang di dukungnya, sangat cocok untuk dijadikan Mendagri, karena ketiganya berpengalaman menjadi Gubernur.
Demikianlah sandiwara oligarki yang memanfa'atkan kekuatan politik UU Pemilu PT 20%, cukup memodali sesedikit mungkin paslon capres dan cawapres, beserta partai-partainya, dengan komitment siapapun pemenang, dapat melindungi, mendukung dan melanjutkan kepentingan bisnisnya.Â
Kekuatan oligarki ini di tandai dengan upaya untuk mewujudkan presiden 3 (tiga) periode atau memperpanjang masa jabatan presiden, yang kemudian upaya minor oligarki ini bisa dipatahkan dengan menggeliatnya gerakan mahasiswa, indikasinya gerakan mahasiswa ini mampu menyadarkan presiden Jokowi untuk mempertegas kepada para pendukung dan pembisiknya bahwa batas kekuasaannya hanya dua periode saja sesuai amanah konstitusi.Â
Namun sudah barangtentu tidak berhenti sampai disitu, kekuatan oligarki kembali eksis, terlihat manakala incumbent semakin kokoh dengan mengambil dukungan PAN sehingga tujuh partai masuk dalam genggamannya, dan menutup perlawanan oposisi yang tinggal PKS dan Demokrat dan notabene tidak bisa membuat perahu, karena jumlah kursi parlemennya kurang dari 20%. Melihat peta politik ini, hampir dipastikan pencapresan di tentukan oleh partai-partai  incumbent, dengan komitmen-komitmen tidak ada perubahan apapun, walau presidennya 2024 di ganti, namun program dan kebijakannya baik buruk tinggal terima jadi, untuk melanjutkan estafet hegemoni kekuasaan Jokowi.
Menggeliatnya gerakan mahasiswa pada sa'at penolakan presiden 3 (tiga) periode dan masa perpanjangan jabatan presiden, bisa saja bersambung, dan semakin kuat menggelinding menjadi Reformasi Jilid dua, untuk mendobrak, mengobrak ngabrik hegemoni PT 20%, hingga akhirnya di tahun 2024 bisa terwujud sistem demokrasi PT 0% yang sehat dan bersih.
Bisa dibayangkan betapa sehatnya manakala setiap partai secara ksatria dan tidak saling sandera diwajibkan mencalonkan paslon Presiden dan Wapresnya. Jika ada 15 partai yang lulus verifikasi KPU, maka ada 15 paslon presiden dan wapres. Dengan banyaknya perahu ini, maka sudah pasti calon-calon populer seperti Anies, Ganjar dan Ridwan Kamil, bisa relatif mudah untuk mendapatkan perahu, dan tidak harus berhutang kepada oligarki.Â
Semua bersaing sehat, secara ksatria untuk mendapatkan kepercayaan rakyat pada putaran pertama, dan kemudian pada putaran kedua semua partai dan paslon yang kalah, barulah berkewajiban melakukan koalisi bersama pemenang ranking kesatu dan ranking kedua pada putaran pertama, yang kemudian akan bertarung kembali di putaran kedua, untuk mendapatkan legitimasi rakyat 50% plus satu dari jumlah pemilih. Dengan sistem PT 0% ini, maka rakyat Indonesia bisa berharap lahirnya pemimpin yang kuat, bersih, tidak tersandera oligarki dan mampu menciptakan kesejahteran, kemakmuran berdasar kepada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dan harapan ini tentunya bersandar kepada kesadaran akan perlunya gerakan Reformasi Jilid dua, yaitu kekuatan sosial politis bersatunya mahasiswa dan rakyat sebagaimana halnya terjadi reformasi 98. Mungkinkah ? dalam sejarah perubahan demi perubahan di Indonesia, tidak ada hal yang tidak mungkin, dan reformasi jilid dua pun bisa terjadi. Mudah2an saja PT 0%, pada akhirnya bisa tewujud di tahun 2024. Aamiin YRA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H