Mohon tunggu...
Data Membangun Indonesia
Data Membangun Indonesia Mohon Tunggu... Konsultan - Lembaga Riset

Akun resmi Data Membangun Indonesia. Melihat dan membangun Indonesia dengan kajian dan data. Kunjungi kami di twitter @dmindonesia_org

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bagaimana Respon Berbagai Kota dan Negara di Dunia Selama Pandemi Covid-19?

14 Juli 2020   00:08 Diperbarui: 19 Juli 2020   09:28 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tidak dapat dipungkiri bahwa pandemi COVID-19 (Corona) telah banyak menguras energi masyarakat dunia, khususnya para pemangku kebijakan di berbagai negara. Indonesia tidak terkecuali. 

Dari pertama kali kemunculannya, pemerintah dirasa kelewat menganggap 'remeh' epidemiologi virus ini.  Alih-alih memikirkan epidemiologi, pemerintah malah mengeluarkan pernyataan seperti: tidak perlu lockdown, tetap tenang, Indonesia aman dari COVID-19. 

Alasannya, agar masyarakat tidak panik. Namun, ihwal itu justru membuat pemerintah kalang kabut, keteteran, menghadapi cepatnya penyebaran mata rantai virus. 

Benar saja, Kota Jakarta, sebagai kota tersibuk di Indonesia, langsung menjadi episentrum utama . Hingga tulisan ini dibuat, Jakarta masih berstatus  berjuang menghadapi virus yang telah menginfeksi lebih dari 12 Juta populasi dunia (berdasarkan data WHO per 12 Juli 2020). 

Tidak seperti Jakarta, pemerintah kota Seol, Korea Selatan, justru langsung menetapkan status tanggap darurat ketika kasus COVID-19 muncul  untuk pertama kali di Wuhan, Cina. Imbasnya, saat ini, Seoul ditetapkansebagai daerah yang telah berstatus aman dan membaik dari efek pandemi COVID-19. 

Tulisan ini selanjutnya akan mengulas tentang bagaimana respon berbagai kota dan negara ketika berjuang menghadapi COVID-19, ditinjau dari aspek ketersediaan data publik, usaha-usaha preventif, metode tes yang digunakan untuk mendiagnosis virus, upaya kuratif, penerapan kebijakan pasca-pandemi, serta bagaimana statusnya sekarang. Kota yang diulas meliputi Jakarta (Indonesia), Berlin (Jerman), Washington D. C. (Amerika Serikat), Beijing (Cina), Seoul (Korea Selatan), dan satu negara yaitu Selandia Baru. 

Segala informasi yang menjadi konten ulasan kebijakan di berbagai kota dan negara di bawah ini bersumber pada laman daring resmi dari masing-masing kota perihal COVID-19.

1. Aspek Ketersediaan Data Publik

Aspek ini menjadi krusial bagi pemenuhan kebutuhan informasi bagi masyarakat yang 'parno' dengan kondisi dan perkembangan terkini COVID-19. Di sisi lain, informasi yang bersumber dari data-data di lapangan, dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai sumber pengetahuan, yang mana kemudian dapat dijadikan sebagai dasar penentuan kebijakan, dalam hal ini penanganan COVID-19. 

Kota Jakarta misalnya, memiliki laman daring resmi dan khusus untuk pemenuhan ketersediaan data publik. Hal itu juga diamini oleh negara lainnya, termasuk Washington D. C., Selandia Baru, Beijing, ataupun Seoul. 

Data-data yang ditampilkan bervariasi, yang jelas informasi seperti jumlah kasus positif, kematian, dan kesembuhan ditampilkan secara interaktif, lengkap dengan peta persebaran, grafik, dan bagan-bagan statistik. Namun demikian, Berlin, tidak termasuk kota yang memiliki data-data interaktif semaca itu, yang dapat diakses secara daring dan bebas oleh masyarakat. 

Belum diketahui, mengapa pemerintah kota Berlin tidak menampilkan data-data publik. Jelasnya, aspek ini bukan hal yang mutlak untuk dipenuhi. Buktinya, Berlin, tanpa ada data-data publik yang dipampang di laman daringnya, tetap dapat mengendalikan mata rantai COVID-19 dengan baik.

2. Aspek Preventif

Kampanye untuk Mendukung Usaha Preventif

Setiap kota atau negara, memiliki kampanye yang berbeda-beda untuk 'membujuk hati' masyarakat untuk patuh terhadap protokol pencegahan dan penyebaran COVID-19. Jakarta, sudah ngetren dengan kampanye "tinggal di rumah; bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah di rumah; 

Selalu pakai masker dan rutin cuci tangan." Kampanye ini selalu muncul di iklan-iklan masyarakat, atau sekadar menjadi ujaran atau nasihat kepada sesama jika seseorang bertemu orang lain yang tidak memakai masker ketika di luar rumah, juga di rumah-rumah makan atau tempat pusat berbelanjaan. Di Washington D. C., anjuran atau kampanye yang digadang-gadangkan adalah "Segera mengikuti tes cepat, menggunakan masker atau pelindung wajah, cuci tangan, dan tetap di rumah jika merasa tidak sehat". 

Di Berlin, kampanye yang selalu diedukasikan ke seluruh lapisan masyarakat adalah "sepuluh aturan atau protokol pokok pencegahan COVID-19". Apa yang dilakukan di Berlin, menertibkan aturan pokok, juga dilakukan di Beijing.

 Tidak terlihat kompleks dan lebih mirip disebut sebagai jargon, Selandia Baru dan Seoul lebih memilih mengampanyekan kata-kata sederhana seperti stay at home atau 3T (trace, test, treat).

Lockdown (Pembatasan Sosial)

Meskipun banyak istilah untuk menyebut lockdown, semua negara yang diulas di tulisan ini menerapkan praktik lockdown untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19. Berikut istilahnya.

  1. Jakarta: dilakukan dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
  2. Berlin: dilakukan dan termuat di dalam sepuluh aturan atau protokol pokok pencegahan COVID-19
  3. Washington D. C. : dilakukan dengan district's stay at home order
  4. Selandia Baru: Menampilkan COVID-19 Alarm System yang terdiri atas empat level (berisikan status terkini, dan apa-apa saja yang harus dilakukan oleh masyarakat di tiap-tiap level)
  5. Beijing: dilakukan dengan membatasi pergerakan masyarakat di tempat-tempat publik
  6. Seoul: dilakukan dengan menerbitkan tujuh aturan pokok yang harus dipatuhi oleh masyarakat selama pandemi

Monitoring Massal Tiap-tiap Individu melalui Aplikasi Khusus

Hanya ada tiga kota atau negara yang menerapkan usaha ini, yaitu Selandia Baru, Beijing, dan Seoul. Hal ini menjadi penting dan perlu disorot lebih lanjut karena pemanfaatan akses teknologi dan sistem informasi di ketiga daerah ini mungkin dapat dicontoh dan ditetapkan sebagai upaya tanggap darurat kesehatan di masa depan oleh kota atau negara lainnya.

  1. Selandia Baru: dilakukan dengan melacak seluruh pergerakan masyarakat (berpergian ke mana, kapan, dan bertemu siapa) melalui aplikasi NZ COVID
  2. Beijing: menetapkan aturan kepada seluruh masyarakat untuk mendaftarkan diri di aplikasi Health Kit. Secara praktis data-data yang termuat di aplikasi dapat digunakan untuk melacak dan mengontrol pergerakan masyarakat.
  3. Seoul: mewajibkan untuk tes mandiri melalui aplikasi yang sudah ditentukan, melacak seluruh pergerakan masyarakat melalui CCTV, handphone, GPS, dan kartu kredit.

3. Metode Tes Massal

Di masa pandemi seperti sekarang ini, ukuran kekuatan negara di mata publik dunia tercermin dari seberapa baik cara negara untuk menekan angka positif atau kasus kasus kematian akibat COVID-19.

 Saat ini, Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain (Jerman, Amerika Serikat, Selandia Baru, Cina, dan Korea Selatan). 

Pasalnya, beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Selandia Baru, dan Korea Selatan, berani menggelontorkan dana kesehatan lebih untuk menggratiskan seluruh biaya tes. 

Negara lainnya, seperti Jerman atau Cina, walau tidak gratis, menyediakan secara massal tempat-tempat tes yang begitu mudah diakses oleh masyarakat, dengan ketepatan tes yang baik. 

Prestasi ini tentu patut diadaptasi di Indonesia, khususnya Jakarta atau Surabaya yang menjadi episentrum persebaran COVID-19. Hingga saat ini, tempat tes massal di Jakarta masih terbatas dilakukan oleh pihak otoritas tertentu, seperti dinas kesehatan atau beberapa rumah sakit khusus setempat, dan sayangnya tidak gratis.

4. Upaya Kuratif

Apa yang diulas di bagian metode tes massal, lagi-lagi menempatkan Indonesia (dalam kasus ini adalah Jakarta) pada ranking terbawah. Pasalnya, terkait penyediaan fasilitas kesehatan secara insentif dan serentak, Indonesia jauh tertinggal dibanding kota atau negara lainnya. 

Di Berlin, Washington D. C., Selandia Baru, Beijing, dan Seoul, sudah tersedia akses rumah sakit yang memberikan layanan intensif bagi orang dengan gejala ringan maupun berat. Bahkan, di Berlin, seluruh rumah sakit sudah memiliki pelayanan standar dan intensif, yang mana beberapa kebutuhan fasilitas kesehatannya dibiayai atau ditunjang oleh seluruh perusahaan swasta di sana. 

Sedangkan di Jakarta, masih terbatas pada pelayanan intensif bagi orang dengan gejala berat. Namun begitu, Indonesia masih dapat diapresiasi karena dari enam kota atau negara yang diulas di tulisan ini, hanya Jakarta yang memberikan layanan kesehatan lainnya seperti bantuan sembako pangan bagi masyarakat tidak mampu. Sedangkan di Selandia Baru dan Seoul, bentuk layanan kesehatan lainnya adalah memberikan dukungan sosial dan psikologis secara gratis.

5. Penerapan Kebijakan Terkini dan Status Pandemi

Saat ini, euforia COVID-19, tidak sesemarak tiga bulan lalu. Masyarakat yang awalnya merasa 'parno' saat ini sudah mampu bersikap biasa saja. Malahan ada yang masa bodoh dengan situasi terkini. 

Asal tetap pakai masker, rajin cuci tangan, dan menghindari kerumunan, itu yang selalu menjadi dalil untuk mereka yang tidak bisa hanya berdiam diri di rumah. 

Namun demikian, kita tentu belum boleh menganggap urusan pandemi ini sebagai hal yang remeh. Jakarta, Beijing,  dan Wahington D. C., saat ini statusnya masih belum dinyatakan sepenuhnya aman, bahkan masih berjuang dengan urusan pandemi ini melalui berbagai kebijakan untuk menuju normal baru.

  1. Jakarta (masih berjuang): menerapkan PSBB transisi (pembukaan bertahap dan tetap melaksanakan protokol pencegahan COVID-19 di destinasi wisata, sekolah, kantor, tempat ibadah, serta pengoperasian transportasi publik). Selain itu pemerintah juga mencanangkan Kolaborasi Sosial Berskala Besar (berupa penggalangan donasi, menggaet beberapa kolaborator di berbagai sektor usaha untuk menggiatkan kembali ekonomi yang telah lesu).
  2. Berlin (membaik): Tetap memberlakukan  sepuluh aturan pokok pencegahan COVID-19 dengan beberapa penyesuaian.
  3. Washington D. C. (masih berjuang): menyediakan petunjuk teknis/ketentuan/instrumen (guidance/toolkit) mengenai berbagai kebijakan di masa-masa transisi (recovery), khususnya dampak-dampak sosial, seperti pemenuhan kebutuhan pangan, jaminan kesehatan, dan kompensasi bagi para pekerja yang dirumahkan; memilki aturan-aturan penyesuaian di area bisnis, dan institusi pemerintahan; menggalang kanal funding (donor).
  4. Selandia Baru (sangat baik): menyediakan layanan kesehatan mental (dampak psikologis selama pandemi); menyediakan layanan khusus bagi para pekerja yang terdampak COVID-19 (dipulangkan) dengan pelatihan dan penyediaan kerja, dukungan finansial; menyediakan layanan khusus bagi sektor bisnis yang terdampak COVID-19; menyediakan kanal funding (donor); menganjurkan untuk membeli produk lokal; menganjurkan masyarakat untuk liburan dan berkunjung ke wisata lokal untuk menghidupkan kembali ekonomi.
  5. Beijing (masih berjuang): mengintensifkan anjuran untuk tes dan melakukan monitoring mandiri melalui aplikasi Health Kit, terkhusus bagi warga yang keluar maupun masuk kawasan Beijing; mewajibkan beberapa area pasar untuk melakukan tes (terkhusus bagi para pekerja di area tersebut) dan monitoring mandiri melalui aplikasi Health Kit; tetap memberlakukan pembatasan pergerakan manusia di tempat-tempat publik (membatasi kapasitas pengunjung)
  6. Seoul (sangat baik): tetap mengintensifkan tes massal di banyak titik;  mengintensifkan juga proses disinfektan dan protokol ketat di berbagai tempat pubik (khususnya tempat hiburan seperti bioskop atau karaoke); menyediakan kompensasi di sektor ekonomi seperti: tempat bisnis (khususnya hotel, industri pariwisata, industri kecil, dan start-up), termasuk dukungan finansial bagi orang-orang yang dirumahkan selama pandemi; mengampanyekan distancing in daily life (tetap memberlakukan social distancing dan berbagai protokol pencegahan COVID-19 di berbagai tempat publik dengan penyesuaian)

Itulah beberapa ulasan mengenai respon berbagai kota dan negara selama dan pasca pandemi berlangsung. Semoga ke depannya, Indonesia lebih banyak belajar dan mengevaluasi diri, lebih bersiap ketika nanti situasi yang sama muncul di satu atau dua dekade kemudian. (GAS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun