Mohon tunggu...
DLIYAUN NAJIHAH
DLIYAUN NAJIHAH Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Semacam mood menulisnya ditentukan oleh kebutuhan dapur saja

Konon katanya, berkarya bisa menghidupkan yang mati dan menulis adalah salah satu caranya | Alumni Industri Kreatif

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Badan Bank Tanah dan Perumahan Rakyat : Mengatasi Krisis Hunian Milenial di Indonesia

23 Januari 2025   10:21 Diperbarui: 23 Januari 2025   10:21 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Konon katanya, Millenial masa kini sangat sulit memiliki rumah atau hunian sendiri. Krisis hunian di kalangan milenial ini menjadi salah satu tantangan besar di Indonesia. Wajar saja fakta ini menjadi nyata melihat tingginya harga properti, minimnya akses terhadap pembiayaan perumahan, dan kebutuhan untuk tinggal di kawasan strategis semakin memperrumit kondisi ini. Kenaikan harga rumah setiap tahun meningkat 2,72 % (persen) sampai 4,45 persen per tahun. Meningkatnya permintaan properti seperti perumahan-perumahan juga menjadi faktor penyebab harga tanah terus naik dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan oleh perkembangan properti yang terus meningkat. Saat ini hampir semua jenis rumah diminati masyarakat, mulai dari rumah subsidi maupun rumah komersial terutama yang berlokasi di kawasan strategis. Semakin strategis letak tanah maka semakin tinggi juga harga jualnya. Misalnya sebidang tanah yang berada di kawasan pusat kota dan bisnis serta mendukung seperti tersedianya fasilitas umum seperti kawasan perkantoran, transportasi umum, pusat pembelanjaan dan fasilitas penunjang lainnya (Savitri and Riandi 2024).

Sebenarnya ada banyak alasan mengapa milenial bisa dihadapkan dengan kondisi in, seperti : 1) Harga properti yang tinggi. Nilai properti meningkat jauh lebih cepat dibandingkan pendapatan rata-rata; 2)Minimnya tabungan. Banyak milenial yang kurang aware terhadap tabungan pribadi, meskipun hanya sekedar uang muka untuk KPR saja kadang milenial belum mampu; 3) Prioritas gaya hidup. Karena fleksibilitas dan mobilitas yang sangat tinggi milenial justru memilih untuk menyewa dibandingkan membeli hunian sendiri; 4) Ketimpangan urbanisasi. Konsetrasi lapangan pekerjaan di kota besar membuat permintaan hunian ikut meningkat pada kawasan perkotaan.

Selain itu, dilihat dari pertumbuhan penduduk di Indonesia terus mengalami peningkatan, sehingga berimbas pada kebutuhan lahan. Ketimpangan distribusi penduduk di berbagai daerah menjadi tantangan bagi pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan, termasuk penyediaan lahan bagi masyarakat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia pada September 2024 lalu diperkirakan mencapai 281.60 juta jiwa. Dalam kurun waktu 2020-2024, rata-rata laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,11 persen pertahun. Hal ini menggambarkan pentingnya perencanaan yang baik untuk memenuhi kebutuhan lahan di masa mendatang.

Dengan semakin sulitnya memperoleh tanah untuk pembangunan berbagai keperluan dan melonjaknya harga tanah, salah satu kebijakan yang dapat dijadikan solusi adalah konsep bank tanah, sehingga keberadaan Badan Bank Tanah dalam perspektif hukum memerlukan klarifikasi dan pengaturan secara yuridis yang baik dan tepat agar dapat benar-benar mencapai tujuan dari pemerintah untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang perumahan dan permukiman menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia.

Bank tanah adalah entitas pemerintah atau nirlaba yang mengumpulkan, mengelola sementara, dan membuang tanah kosong. Alasan pembentukan Bank Tanah di Indoensia adalah untuk meningkatkan konsolidasi tanah dalam mengembangkan produktifitas tanah untuk kepentingan masyarakat umum (Situngkir and Artati 2022). Pembentukan Bank Tanah berangkat dari tantangan pengadaan tanah saat ini, terutama karena tanah telah menjadi komoditas strategis yang diperdagangkan secara bebas. Liberalisasi tanah menyebabkan harga melonjak akibat ulah spekulan, menghambat proyek pemerintah, khususnya dalam membangun infrastruktur. Di kota-kota besar, tanah diperdagangkan di pasar yang sulit diatur karena kurangnya strategi kebijakan pertanahan yang efektif (Bukido, Lahilote, and Irwansyah 2021).

Konsep bank tanah telah ditetapkan pada beberapa negara seperti Kolombia, Korea Selatan, Belandan dan beberapa negara lainnya. Di Belanda, konsolidasi lahan berjalan seiring dengan praktik bank tanah. Pada Undang-undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menyatakan bahwa "institusi bank tanah ialah lembaga eksklusif (sui generis) yang mengatur tentang tanah. Kekayaan lembaga bank tanah ialah kekayaan negeri yang dipisahkan. lembaga bank tanah berperan melakukan pemograman, akuisisi, logistik, pengurusan, eksploitasi, serta pembagian tanah". Bank tanah sebagai Sui Generis memiliki tujuan untuk memberikan jaminan tersedianya tanah bagi pembangunan Indonesia (Situngkir and Artati 2022). Lembaga yang berwenang bersifat ad hoc dan merupakan dewan nasional yang terdiri dari beberapa kementerian atau lembaga yang menjalankan tupoksi masing-masing dalam satu rencana pembangunan kawasan yang disepakati bersama. Kelembagaan ini bersifat non-profit yang tidak ditujukan untuk mencari keuntungan (Tampi 2021). Bank Tanah di Indonesia menggunakan skema pembiayaan yang bersumber dari pembiayaan pemerintah yang berasal dari anggaran pemerintah.

Bank tanah berperan penting dalam mengelola dan memanfaatkan tanah secara nasional, khsusunya untuk memastikan pengelolaan lahan yang optimal demi kemakmuran masyarakat. Konsep ini telah berhasil diterapkan di berbagai negara maju untuk menangani tanah terlantar, tanah yang ditinggalkan kosong atau tidak produktif yang masih memiliki potensi dan mengubahnya menjadi lebih produktif dan bermanfaat. Sebagai bagian dari amanat Pasal 33 UUD 1945, Bank Tanah harus dikelolah secara adil, berkelanjutan, dan berpihak pada rakyat.

Dalam hal ini, Bank Tanah harus menyejahterakan masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya tanah secara optimal, berkeadilan, dan berkelanjutan. Karenanya, kegiatan bank tanah tidak diperbolehkan mengabaikan kepentingan rakyat, yakni kemakmuran bersama. Dalam rangka mengakomodasi penerapan bank tanah, maka perlunya regulasi yang mengatur secara spesifik dalam bentuk kebijakan strategis.

Jika merujuk masalah kepemilikan tanah di Indonesia sudah diatur melalui Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Sebagai wujud nyata dari Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945 tersebut, kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan Undang- Undang Pokok Agraria. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) UUPA yang menyebutkan bahwa: "Bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam di dalamnya pada tingkat yang tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat", yang mana pasal tersebut tak lain merupakan embrio lahirnya Hak Menguasai Negara (HMN) (Tampi 2021).

Permasalahan seperti data nominatif yang tidak akurat, nilai ganti rugi yang tidak sesuai, kesalahan administrasi, intimidasi pelaksana, dan markup objek ganti rugi kerap muncul dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Bank Tanah diharapkan dapat mengantisipasi persoalan ini dengan menyediakan tanah lebih awal untuk pembangunan. Konsep ini mendukung kebijakan pertanahan, pengembangan wilayah secara efektif, serta pengendalian penguasaan dan pemanfaatan tanah yang adil. Bank Tanah juga mampu membantu pemerintah dalam menghemat anggaran, khususnya terkait ganti rugi tanah kepada masyarakat. Dengan penerapan konsep ini, penyediaan tanah untuk pembangunan bisa berjalan lebih efisien, menjawab masalah pengadaan lahan, dan memastikan pembangunan yang lebih terstruktur.

Praktek bank tanah dibutuhkan dalam pelaksanaan konsolidasi tanah guna mempercepat pelaksanaan dan mempermudah proses akuisisi tanah. Lembaga yang berwenang bersifat ad hoc dan merupakan dewan nasional yang terdiri dari beberapa kementerian atau lembaga yang menjalankan tupoksi masing-masing dalam satu rencana pembangunan kawasan yang disepakati bersama. Kelembagaan ini bersifat non-profityang tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Daya guna dari konsep bank tanah ini sangat besar jika diterapkan di Indonesia, terutama diperuntukkan bagi tanah-tanah terlantar yang jumlahnya sangat banyak dan tidak mampu dikelola dengan baik oleh Pemerintah karena minimnya sumber daya manusia yang kompeten di bidang tersebut.

Nilai Keadilan Bank Tanah :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun