Klausula baku yang dibuat oleh pelaku usaha harus mengedepankan prinsip keseimbangan, keadilan dan kewajaran. Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, klausula Baku aturan sepihak yang dicantumkan dalam kuitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi jual beli tidak boleh merugikan konsumen. Klausula baku umumnya digunakan dalam kontrak B2C (Business to Consumer). Klausula baku  dalam suatu perjanjian muncul dari kebutuhan para pelaku usaha bahwa dalam suatu hubungan bisnis membutuhkan akta perjanjian yang cukup rumit dan menghabiskan banyak biaya serta waktu. Sehingga, dengan adanya klausula baku diharapkan dapat memangkas biaya operasional yang dibutuhkan dan mempersingkat waktu. Dalam hal ini, pihak yang berkedudukan lemah cenderung hanya menerima dan menandatangani isi perjanjian karena dia tidak memiliki daya tawar untuk menambah, mengurangi atau bahkan mengubah isi perjanjian tersebut, dimana hal ini tentu lebih menguntungkan pihak pengusaha. Bahkan apabila digunakan secara tidak benar, perjanjian ini berpotensi menipu konsumen.
Klausula baku biasanya digunakan dalam untuk memperjelas hubungan kerja sama dan beberapa poin penting seperti upaya penyelesaian sengketa, masalah pembayaran, klaim asuransi hingga terkait dengan ganti rugi permasalahan. Klausula baku banyak digunakan oleh pelaku usaha karena manfaatnya dan isinya hanya ditentukan sendiri sehingga tidak terjadi ketimpangan antara kepentingan konsumen dengan kepentingan pelaku usaha.Â
Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perikatan telah memberikan ruang kepada pihak yang terlibat dalam perjanjian untuk membentuk dan menentukan isi dari perjanjian yang akan dilakukan. Namun, dalam penerapannya terjadi beberapa persoalan yang sering dialami, salah satunya adalah adanya perjanjian baku yang didalamnya memuat klausula baku. Undang-Undang -- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa:
"Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen."
Berangkat dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam klausula baku yang dibuat terdapat keharusan yang harus dilakukan oleh suatu pihak dalam rangka pemenuhan atas isi dalam suatu perjanjian. Pasalnya, suatu perjanjian dianggap terjadi setelah adanya kesepakatan di antara para pihak karena adanya proses tawar  menawar. Melalui proses tawar menawar inilah para pihak akan mengetahui hak dan kewajiban yang akan dituangkan dalam isi perjanjian.
Namun, dalam implementasinya Perjanjian Baku yang memuat Klausula Baku ini menimbulkan kontroversi. Terdapat dua pandangan berbeda terkait dengan eksistensi Perjanjian Baku ini. Sebagian orang menganggap bahwa Perjanjian Baku ini melanggar Asas Perjanjian yakni Asas Kebebasan Berkontrak, karena pihak konsumen dalam hal ini hanya diberikan kebebasan dalam hal membuat perjanjian, dengan siapa membuat perjanjian, tanpa diberi kebebasan dalam menentukan apa yang akan menjadi isi (hak dan kewajiban) dalam perjanjian tersebut karena hal tersebut telah terlebih dahulu dilakukan oleh pihak pengusaha. Namun sebagian orang lainnya menanggap Perjanjian Baku ini sah-sah saja dilakukan dan tidak melanggar Asas Kebebasan Berkontrak dengan alasan dalam hal ini konsumen telah diberikan kebebasan untuk menolak atau menerima perjanjian yang telah ditawarkan tersebut. Disamping itu, Undang-Undang telah mengatur ketentuan mengenai Perjanjian Baku ini, tepatnya dalam Penjelasan Pasal 22 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan menyatakan:
"Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah perjanjian tertulis yang ditetapkan secara sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan memuat klausula baku tentang isi, bentuk, maupun cara pembuatan, dan digunakan untuk menawarkan produk dan/atau layanan kepada Konsumen secara massal "
Pasal 21 POJK 1/2013 juga menyatakan:
"Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan Konsumen."Berdasarkan pasal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan Perjanjian Baku dapat dilaksanakan selama perjanjian tersebut telah memenuhi  keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan konsumen serta tidak mencantumkan klausula baku yang dilarang menurut UU Perlindungan Konsumen.
Adapun yang menjadi larangan dalam klausula baku dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut:
Klausula baku yang dibuat oleh pelaku usaha harus mengedepankan prinsip keseimbangan, keadilan dan kewajaran. Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, klausula Baku aturan sepihak yang dicantumkan dalam kuitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi jual beli tidak boleh merugikan konsumen. Klausula baku umumnya digunakan dalam kontrak B2C atau Business to Consumer.Â
Klausula baku  dalam suatu perjanjian muncul dari kebutuhan para pelaku usaha bahwa dalam suatu hubungan bisnis membutuhkan akta perjanjian yang cukup rumit dan menghabiskan banyak biaya serta waktu. Sehingga, dengan adanya klausula baku diharapkan dapat memangkas biaya operasional yang dibutuhkan dan mempersingkat waktu. Dalam hal ini, pihak yang berkedudukan lemah cenderung hanya menerima dan menandatangani isi perjanjian karena dia tidak memiliki daya tawar untuk menambah, mengurangi atau bahkan mengubah isi perjanjian tersebut, dimana hal ini tentu lebih menguntungkan pihak pengusaha. Bahkan apabila digunakan secara tidak benar, perjanjian ini berpotensi menipu konsumen.
Klausula baku biasanya digunakan dalam untuk memperjelas hubungan kerja sama dan beberapa poin penting seperti upaya penyelesaian sengketa, masalah pembayaran, klaim asuransi hingga terkait dengan ganti rugi permasalahan. Klausula baku banyak digunakan oleh pelaku usaha karena manfaatnya dan isinya hanya ditentukan sendiri sehingga tidak terjadi ketimpangan antara kepentingan konsumen dengan kepentingan pelaku usaha.Â
Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perikatan telah memberikan ruang kepada pihak yang terlibat dalam perjanjian untuk membentuk dan menentukan isi dari perjanjian yang akan dilakukan. Namun, dalam penerapannya terjadi beberapa persoalan yang sering dialami, salah satunya adalah adanya perjanjian baku yang didalamnya memuat klausula baku. Undang-Undang -- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa:
"Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen."
Berangkat dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam klausula baku yang dibuat terdapat keharusan yang harus dilakukan oleh suatu pihak dalam rangka pemenuhan atas isi dalam suatu perjanjian. Pasalnya, suatu perjanjian dianggap terjadi setelah adanya kesepakatan di antara para pihak karena adanya proses tawar  menawar. Melalui proses tawar menawar inilah para pihak akan mengetahui hak dan kewajiban yang akan dituangkan dalam isi perjanjian.
Namun, dalam implementasinya Perjanjian Baku yang memuat Klausula Baku ini menimbulkan kontroversi. Terdapat dua pandangan berbeda terkait dengan eksistensi Perjanjian Baku ini. Sebagian orang menganggap bahwa Perjanjian Baku ini melanggar Asas Perjanjian yakni Asas Kebebasan Berkontrak, karena pihak konsumen dalam hal ini hanya diberikan kebebasan dalam hal membuat perjanjian, dengan siapa membuat perjanjian, tanpa diberi kebebasan dalam menentukan apa yang akan menjadi isi (hak dan kewajiban) dalam perjanjian tersebut karena hal tersebut telah terlebih dahulu dilakukan oleh pihak pengusaha. Namun sebagian orang lainnya menanggap Perjanjian Baku ini sah-sah saja dilakukan dan tidak melanggar Asas Kebebasan Berkontrak dengan alasan dalam hal ini konsumen telah diberikan kebebasan untuk menolak atau menerima perjanjian yang telah ditawarkan tersebut. Disamping itu, Undang-Undang Indonesia telah mengatur ketentuan mengenai Perjanjian Baku ini, tepatnya dalam Penjelasan Pasal 22 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan menyatakan:
"Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah perjanjian tertulis yang ditetapkan secara sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan memuat klausula baku tentang isi, bentuk, maupun cara pembuatan, dan digunakan untuk menawarkan produk dan/atau layanan kepada Konsumen secara massal "
Pasal 21 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1/2013 juga menyatakan:
"Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan Konsumen."
Berdasarkan pasal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan Perjanjian Baku dapat dilaksanakan selama perjanjian tersebut telah memenuhi memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan konsumen serta tidak mencantumkan klausula baku yang dilarang menurut UU Perlindungan Konsumen sebagaimana akan disebutkan di bawah.Â
Adapun yang menjadi larangan dalam klausula baku dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut:
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau
mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak
penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;Â
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak
penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang
dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada
pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak
langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak
yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan
barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh
konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi
manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan
konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan
yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau
pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku
usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang
dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada
pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak
gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli
oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang
letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara
jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku
usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan
batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang
bertentangan dengan Undang-undang ini.Â
Adapun sanksi pidana dalam penerapan klausula baku terdapat di dalam pasal 62 ayat 1 dan pasal 63 undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
Untuk itu jadilah konsumen yang cerdas...!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H