Mohon tunggu...
Eman Te
Eman Te Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan Hukum

Hobi menulis, Traveling dan suka dengan hal-hal baru yang bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mekanisme Eksekusi Objek Jaminan Fidusia

29 Juli 2023   21:50 Diperbarui: 29 Juli 2023   22:18 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Objek jaminan fidusia di Indonesia sudah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda, namun pengaturannya masih berdasarkan yurisprudensi. Hal ini ditandai dengan adanya arrest HgH (Hogerechts Hof) tanggal 18 Agustus 1932 atau yang lebih dikenal dengan sebutan arrest                   B.P.M.-CLYGNETT  yang memutuskan bahwa perjanjian penjaminan dengan objek jaminan adalah suatu penyerahan hak milik secara kepercayaan atau fidusia yang sah. Jaminan fidusia belum diatur secara lengkap dan komprehensif dalam peraturan perundang-undangan, sementara praktek jaminan fidusia semakin berkembang dimasyarakat, maka lahirlah Undang-Undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. 

Dengan diberlakukannya Undang-undang tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hukum untuk mendorong pembangunan nasional dan memberikan kepastian serta perlindungan hukum (legal certainty and legal protection) bagi pihak yang berkepentingan atau konsumen.

Salah satu yang sangat menguntungkan bagi penerima fidusia sebagaimana diatur dalam        Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 adalah "Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Ayat (1) dicantumkan kata-kata "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", yang diartikan kalau Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Suatu putusan pengadilan dikatakan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde), jikalau terhadap putusan tersebut telah tertutup untuk dilakukan upaya hukum. Jadi orang yang memegang Sertifikat Jaminan Fidusia disamakan dengan orang yang telah menang berperkara di Pengadilan, berdasarkan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. 

Konsekuensi dari adanya title eksekutorial dalam Sertifikat Jaminan Fidusia tersebut, maka berdasarkan pasal 15 Ayat (3) Undang-Undang No. 42 tahun 1999 menyatakan "Apabila debitur cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri". Adapun yang dimaksud dengan "menjual atas kekuasaan sendiri" adalah suatu bentuk "Parate Eksekusi". Parate Ekekusi bukan merupakan suatu hal yang baru.

Dalam pasal 1155 KUHPerdata mengatur tentang adanya kewenangan yang diberikan kepada pemegang gadai untuk menjual gadai dihadapan umum jikalau pemberi gadai wanprestasi tanpa harus memenuhi suatu formalitas selain yang diatur dalam pasal 1155 KUHPerdata. Adapun tujuan pemberian kewenangan Parate Eksekusi kepada kreditur adalah untuk memberikan kemudahan kepada kreditur selaku pemegang jaminan untuk dapat mengambil pelunasan tagihannya.

Dalam praktek sehari-hari pelaksanaan Parate Eksekusi tidaklah mudah, hal ini dikarenakan Pemberi Fidusia yang sejak awal tetap menguasai objek jaminan tersebut (constitutum possessorium), tidak mau secara sukarela menyerahkan objek jaminan kepada Penerima Fidusia, pada hal berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 menyatakan "Pemberi Fidusia wajib menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia". Untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia melalui parate eksekusi. 

Berdasarkan Pasal 30 tersebut menyatakan "Dalam hal Pemberi Fidusia tidak menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, Penerima Fidusia berhak mengambil Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang".

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan "pihak yang berwenang" untuk membantu dalam pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia, yakni Pengadilan Negeri sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia). Demikian termaktub dalam Putusan Nomor 71/PUU-XIX/2021. 

Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi "Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk Sebagian. Menyatakan frasa 'pihak yang berwenang' dalam Penjelasan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'Pengadilan Negeri".

Pemohon mendalilkan inkonstitusionalitas norma Pasal 30 UU 42/1999 beserta Penjelasannya. Pemohon beralasan karena norma a quo tidak terlepas dari pengujian Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 yang telah diputus oleh Mahkamah Kontitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUUXVII/2019, tanggal 6 Januari 2020 dan telah ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 tanggal 31 Agustus 2021.

Terkait dalil Pemohon tersebut, pertimbangan hukum menyebutkan, bahwa dalam Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021, Mahkamah Konstitusi telah menguraikan dengan jelas mengenai prosedur penyerahan objek jaminan fidusia. Kekhawatiran mengenai akan timbulnya eksekusi secara sepihak atau penarikan semena-mena yang dilakukan oleh kreditur, tidak akan terjadi. 

Sebab, Mahkamah Konstitusi juga telah mempertimbangkan mengenai tata cara eksekusi sertifikat jaminan fidusia yang diatur dalam ketentuan lain dalam UU 42/1999 agar disesuaikan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019. Artinya, putusan a quo berkenaan dengan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) tidaklah berdiri sendiri karena ketentuan pasal-pasal lain dalam UU 42/1999 yang berkaitan dengan tata cara eksekusi harus mengikuti dan menyesuaikan dengan putusan a quo, termasuk ketentuan Pasal 30 UU 42/1999 beserta Penjelasannya. 

Dengan demikian, pihak kreditur tidak dapat melakukan eksekusi sendiri secara paksa. Mahkamah konstitusi telah menegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 bahwa kreditur harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri,".

Eksekusi objek jaminan fidusia adalah hubungan hukum yang bersifat keperdataan (privat). Oleh karena itu, aparat kepolisian hanya sebatas mengamankan jalannya eksekusi bila diperlukan, bukan sebagai bagian dari pihak eksekutor, kecuali ada tindakan yang mengandung unsur-unsur pidana maka aparat kepolisian baru mempunyai kewenangan untuk penegakan hukum pidananya. Oleh karena itu,  frasa "pihak yang berwenang" dalam Penjelasan Pasal 30 UU 42/1999 adalah dimaknai "Pengadilan Negeri" sebagai pihak yang diminta bantuan untuk melaksanakan eksekusi tersebut.

Pasal 372 KUHP dan Pasal 30 UU Jaminan Fidusia yang dinilai tidak memberikan kepastian dan perlindungan hukum. Sebab berpedoman dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, yang pada intinya menyatakan penilaian cidera janji harus atas dasar kesepakatan debitur termasuk jaminan fidusia yang ingin dieksekusi harus diserahkan secara sukarela. Namun jika debitur keberatan, maka kreditur tidak berhak melakukan eksekusi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun