Objek jaminan fidusia di Indonesia sudah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda, namun pengaturannya masih berdasarkan yurisprudensi. Hal ini ditandai dengan adanya arrest HgH (Hogerechts Hof) tanggal 18 Agustus 1932 atau yang lebih dikenal dengan sebutan arrest          B.P.M.-CLYGNETT  yang memutuskan bahwa perjanjian penjaminan dengan objek jaminan adalah suatu penyerahan hak milik secara kepercayaan atau fidusia yang sah. Jaminan fidusia belum diatur secara lengkap dan komprehensif dalam peraturan perundang-undangan, sementara praktek jaminan fidusia semakin berkembang dimasyarakat, maka lahirlah Undang-Undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.Â
Dengan diberlakukannya Undang-undang tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hukum untuk mendorong pembangunan nasional dan memberikan kepastian serta perlindungan hukum (legal certainty and legal protection) bagi pihak yang berkepentingan atau konsumen.
Salah satu yang sangat menguntungkan bagi penerima fidusia sebagaimana diatur dalam     Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 adalah "Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Ayat (1) dicantumkan kata-kata "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", yang diartikan kalau Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Suatu putusan pengadilan dikatakan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde), jikalau terhadap putusan tersebut telah tertutup untuk dilakukan upaya hukum. Jadi orang yang memegang Sertifikat Jaminan Fidusia disamakan dengan orang yang telah menang berperkara di Pengadilan, berdasarkan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.Â
Konsekuensi dari adanya title eksekutorial dalam Sertifikat Jaminan Fidusia tersebut, maka berdasarkan pasal 15 Ayat (3) Undang-Undang No. 42 tahun 1999 menyatakan "Apabila debitur cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri". Adapun yang dimaksud dengan "menjual atas kekuasaan sendiri" adalah suatu bentuk "Parate Eksekusi". Parate Ekekusi bukan merupakan suatu hal yang baru.
Dalam pasal 1155 KUHPerdata mengatur tentang adanya kewenangan yang diberikan kepada pemegang gadai untuk menjual gadai dihadapan umum jikalau pemberi gadai wanprestasi tanpa harus memenuhi suatu formalitas selain yang diatur dalam pasal 1155 KUHPerdata. Adapun tujuan pemberian kewenangan Parate Eksekusi kepada kreditur adalah untuk memberikan kemudahan kepada kreditur selaku pemegang jaminan untuk dapat mengambil pelunasan tagihannya.
Dalam praktek sehari-hari pelaksanaan Parate Eksekusi tidaklah mudah, hal ini dikarenakan Pemberi Fidusia yang sejak awal tetap menguasai objek jaminan tersebut (constitutum possessorium), tidak mau secara sukarela menyerahkan objek jaminan kepada Penerima Fidusia, pada hal berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 menyatakan "Pemberi Fidusia wajib menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia". Untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia melalui parate eksekusi.Â
Berdasarkan Pasal 30 tersebut menyatakan "Dalam hal Pemberi Fidusia tidak menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, Penerima Fidusia berhak mengambil Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang".
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan "pihak yang berwenang" untuk membantu dalam pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia, yakni Pengadilan Negeri sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia). Demikian termaktub dalam Putusan Nomor 71/PUU-XIX/2021.Â
Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi "Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk Sebagian. Menyatakan frasa 'pihak yang berwenang' dalam Penjelasan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'Pengadilan Negeri".