politik yang dinamis pula.Â
Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai manifestasi dari sistem demokrasi di Republik ini selalu menyisakan titik sejarah yang berbeda-beda pada setiap momentum pelaksanaannya. Tercatat bahwa Republik ini melaksanakan Pemilu pertama kali pada tahun 1955, selanjutnya dilaksanakan secara periodik dan praksis dapat dikatakan mengalami pasang surut dengan konstelasiHal ini tentu menjadi konsekuensi, bahwa konsensus antara founding fathers Republik ini telah menetapkan dalam titik sejarahnya untuk menggunakan demokrasi sebagai sistem untuk mengatur pola kekuasaan negara, dengan menempatkan rakyat sebagai eksponen utama.
Meskipun demikian, sebagai sistem yang paripurna, maka demokrasi memerlukan tambal sulam nisbinya dari masa ke masa, dari periode ke periode.Â
Tentu dengan mengingat alur sejarah yang sedemikian dinamis, maka tantangan yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam menerapkan sistem demokrasi ini pun berbeda-beda, seperti halnya pada era awal kemerdekaan, era Orde Lama, era Orde Baru, hingga era Reformasi saat ini.Â
Perkembangan terakhir, Pemilu sebagai ejawantah dari sistem demokrasi di Republik ini dilaksanakan secara serentak pada 17 April 2019 lalu untuk memilih calon Presiden dan calon Wakil Presiden, serta pelaksana kekuasaan legislatif di tingkat pusat dan daerah.
Secara historis, pertalian antara politik dan kekuasaan dalam gelanggang kontestasi demokrasi di Republik ini mempunyai diferensiasi yang cukup signifikan pada setiap segmen masa.Â
Hal ini bisa dianalisa dari beberapa variabel, antara lain konstelasi dan dinamika politik yang terjadi, aktor dan eksponen politik yang terlibat, serta dampak sosio-politik dalam setiap segmen masa tersebut.Â
Namun, kali ini penulis ingin memberikan fokus pembahasan mengenai konstelasi politik kekuasaan yang sedang terjadi di tanah air, dalam kaitannya dengan momentum Pemilu tahun 2019 ini.
Sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada bulan Januari 2014 lalu atas permohonan dari Koalisi Masyarakat Sipil, maka Pemilu pada tahun 2019 ini dilaksanakan secara serentak antara Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.Â
Keputusan ini tentu membawa konsekuensi tersendiri, yaitu berbagai tahapan panjang yang harus dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara, termasuk adanya eskalasi dinamika politik di tanah air. Friksi politik hadir tidak hanya di tataran elit, melainkan juga berdampak sampai di tataran grassroot.Â
Berbeda dengan Pemilu pada tahun 2014 lalu, adanya eskalasi dinamika politik dan friksi-friksi di tataran grassroot pada Pemilu 2019 ini juga disebabkan oleh kuatnya arus informasi di media sosial, baik yang terindikasi fiktif maupun faktual.