Proses politik yang panjang dalam gelanggang kontestasi demokrasi ini mencapai kulminasi pada tanggal 21 Mei 2019 dini hari, saat dimana KPU mengumumkan hasil penghitungan suara, meskipun sebelumnya terdapat beberapa indikasi kecurangan yang kemudian ditepis oleh KPU sebagai bentuk human eror.Â
Persoalan ini tentu menjadi salah satu kekurangan dari sistem demokrasi di Republik ini, yang memerlukan tambal sulam sistem dan teknis pelaksanaannya dari waktu ke waktu.Â
Sehingga catatan-catatan persoalan ini mestinya menjadi bahan evaluasi sekaligus proyeksi, bukan menjadi alasan bagi gerakan politik untuk mendelegitimasi eksistensi lembaga penyelenggara Pemilu.Â
Mengingat tanggung jawab ini sebetulnya tidak hanya diemban oleh lembaga penyelenggara Pemilu dan segenap elemen masyarakat sebagai konstituen, melainkan juga segenap aktor politik yang terlibat dalam proses elektoral tahun ini.
Kendati demikian, dengan melihat berbagai persoalan yang ada, harus ada keseriusan dari lembaga penyelenggara dan juga pemerintah untuk senantiasa memperbaiki sistem dan teknis pelaksanaan Pemilu ke depan agar persoalan-persoalan yang terjadi saat ini tidak terulang kembali.Â
Hal ini tentu tidak semata-mata agar berbagai persoalan yang ada dapat diminimalisir di masa mendatang, tetapi juga dalam rangka untuk memperbaiki kualitas demokrasi sekaligus membangun kedewasaan politik di Republik ini. Sehingga sistem demokrasi dan sistem politik yang ada juga tidak berujung pada anarkisme massa dan mengganggu kohesi sosial.
Di sisi lain, Pemilu pada tahun 2019 ini yang dilaksanakan secara serentak juga membawa dampak secara sosiologis maupun politis, salah satunya adalah euforia Pilpres menguras begitu banyak perhatian publik dan proses Pileg menjadi sedikit terabaikan.Â
Padahal, eksistensi dan peran dari lembaga legislatif dalam negara demokrasi semacam Indonesia cukup sentral dan menjadi personifikasi dari seluruh elemen rakyat dalam sistem pemerintahan. Persoalan ini tentu tidak boleh diabaikan begitu saja.
Pasca pengumuman hasil penghitungan suara oleh KPU pada tanggal 21 Mei 2019 dini hari lalu, gerakan protes dari publik yang menyoal berbagai permasalahan Pemilu mulai marak terjadi di Jakarta maupun daerah-daerah.Â
Terlepas dari indikasi keberpihakan secara politis dari aktor-aktor gerakan protes yang ada, berbagai persoalan yang diwacanakan itu harus mendapat perhatian yang serius dan dilihat dalam perspektif konstitusional sebagai kemerdekaan untuk mengemukakan pendapat di muka umum.Â
Namun cukup disayangkan, gerakan protes itu justru banyak diwarnai dengan aksi anarkis dan bentrokan dengan aparat keamanan hingga menyebabkan adanya korban jiwa. Persoalan ini tentu menambah catatan hitam bagi proses demokrasi di tanah air ini, dimana rakyat justru dijadikan sebagai tumbal politik.