Indonesian Heritage Museum (IHM) di Jatim Park 1 memang memiliki keragaman artefak langka dari Sabang hingga Merauke. Namun salah satu artefak yang paling misterius adalah patung letti dari Kepulauan Yene, Maluku, Nusa Tenggara Timur.Â
Sangat unik, patung letti pada zaman animisme kerap digunakan sebagai sarana upacara dengan menggunakan darah manusia. Sewaktu tersorot dengan sinar lampu masih tampak bekas darah tercucur pada permukaan patung tersebut.Â
Bagaimana cerita selengkapnya?
Reno Halsamer, pendiri Museum Indonesian Heritage, mengatakan bahwa patung batu letti berusia 2000 tahun lebih. "Pada saat itu warga Pulau Letti masih menganut animisme, dan patung ini dipercaya dapat menghubungan mereka dengan leluhur. Mereka memohon hasil panen melimpah, terhindar dari wabah penyakit dan bencana alam kepada leluhur melalui pemujaan pada patung ini," ungkapnya.
Patung tersebut berada di kawasan nusantara room koleksi Maluku, Museum D'Topeng. Patung diletakkan di dalam kaca setebal satu centimeter. Ruang kaca tersebut memiliki lebar 60 centimeter dan panjang 90 centimeter. Bentuk patung menyerupai sosok ma nusia yang sedang jongkok. Posisi tangan terlipat di atas lutut. Dagunya menempel ditangan kanan. Bentuk telinga sedikit panjang hingga mencapai pundak. Ada tindik sebesar jeruk purut dibagian kedua telinganya. Patung tersebut terbuat dari batu.Â
"Dari sejarah masyarakat Pulau Letti, patung tersebut digunakan sebagai media komunikasi antara alam manusia dengan dunia kematian. Saat itu masyarakat masih memuja leluhur yang telah meninggal dunia. Mereka meyakini roh para leluhur berada di dalam patung Yene. "Darah manusia yang menjadi persembahannya. Masih ada bercak darah yang bisa diteliti pada patung ini," terang Reno Halsamer.
Sejarah Pulau Leti
Sebelum  mengenal agama-agama modern seperti  Kristen dan Islam, masyarakat Maluku menganut kepercayaan prasejarah yaitu animisme. Orang Maluku sangat menjunjung kepercayaan terhadap leluhurnya, yang mereka wujud nyatakan dalam kehidupan sehari-hari seperti ungkapan mereka bahwa yang pertama Tuhan dan kedua Tete Nene moyang (leluhur). Hal inilah yang melatarbelakangi beragam upacara ynag dilakukan masyarakat Maluku.
Tradisi pemujaan arwah leluhur sendiri lahir dari anggapan masyarakat bahwa setelah kematian, kehidupan manusia akan terus berlangsung di alam yang lain (alam arwah). Arwah leluhur dianggap mempunyai kekuatan maha dahsyat yang mampu mengendalikan alam semesta. Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk menjaga hubungan baik dengan arwah para leluhurnya agar senantiasa diberikan kemakmuran dan keberhasilan dalam usahanya.Â
Peneliti F.A.Wagner dan Van der Hoop pun berpendapat bahwa tinggalan arkeologis yang terbuat dari batu berukuran kecil atau dari kayu sekalipun dapat dikatakan sebagai hasil tradisi megalitik jika memiliki makna religus yaitu tradisi pemujaan arwah leluhur (Yondri,1996).
Nah, pingin melihat bagaimana bentuk patung letti tersebut dan kisah pemujaan era megalitik?
Yukk, berkunjung ke Indonesian Heritage Museum!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H