Mohon tunggu...
DKG Foundation
DKG Foundation Mohon Tunggu... Wiraswasta - penulis

Kumpulan Berita seputar museum museum dan barang barang seni

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Kajian Indonesian Heritage Museum : Sejarah Wayang Potehi

30 Juni 2023   15:52 Diperbarui: 30 Juni 2023   22:16 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk memainkan wayang potehi dibutuhkan dua orang, yaitu dalang dan asisten dalang. Dalang bertugas menyampaikan cerita, sedangkan asisten membantu menyiapkan dan menata peralatan pentas seperti wayang, busana, dan senjata serta menampilkan tokoh-tokoh sesuai cerita. Masing-masing dapat memainkan dua wayang. Sebanyak 20-25 wayang bisa digunakan dalam satu kali pementasan.

Indonesian Heritage Museum
Indonesian Heritage Museum

Pertunjukan wayang Potehi tidak memakan tempat seperti pada wayang kulit yang memerlukan alat musik (gamelan) serta pengiringnya yang banyak. Wayang Potehi hanya memerlukan tempat seluas 3x4 meter setinggi kurang lebih 1,5 meter. Satu pertunjukan hanya melibatkan 5 orang , yaitu satu orang dalang dibantu satu orang asisten dalang dan 3 orang musisi pengiring karena alat musiknya sangat sederhana yaitu gembreng besar (Toa Lo), rebab (Hian Na), kayu (Piak Ko), suling (Bien Siauw), gembreng kecil (Siauw Loo), gendang (Tong Ko), selompret (Thua Jwee). Meskipun alat musiknya ada 7 jenis tetapi pemain musiknya cukup 3 orang karena satu orang dapat memainkan 2 atau 3 alat musik .

Dulunya Wayang Potehi hanya memainkan lakon-lakon yang berasal dari kisah klasik Tiongkok seperti legenda dinasti-dinasti yang ada di Tiongkok, terutama jika dimainkan di kelenteng. Akan tetapi saat ini Wayang Potehi sudah mengambil cerita-cerita di luar kisah klasik seperti novel Se Yu (Pilgrimage to the West) dengan tokohnya Kera Sakti yang tersohor itu.

Alat musik Wayang Potehi terdiri atas gembreng/lo , kecer/simbal cheh dan puah, suling/phin-a , (gitar/gueh-khim ), rebab/hian-a , tambur/kou , terompet/ai-a , dan piak-kou . Alat terakhir ini berbentuk silinder sepanjang 5 sentimeter, mirip kentongan kecil penjual bakmi, yang jika salah pukul akan mengeluarkan bunyi "trok"-"trok" seperti seharusnya.

republika.co.id
republika.co.id

Panggung wayang potehi juga dibuat lebih tinggi karena memiliki makna pertunjukan tersebut dipersembahkan untuk para dewa. Bagian atas panggung diasosiasikan sebagai tempat para dewa dan bagian bawah panggung merupakan bumi yang menjadi batas antara dewa dan manusia. Sejak wayang potehi mengisahkan kehidupan para dewa, masyarakat Tiongkok mulai beranggapan bahwa pertunjukan wayang potehi merupakan sarana yang tepat untuk menyampaikan puji-pujian kepada para dewa dan juga segala hal yang berkaitan dengan para leluhur. Ataupun sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan yang diperoleh di bidang usaha, disampaikan melalui pertunjukan wayang potehi.

Mereka meyakini bahwa pementasan wayang potehi di halaman kelenteng mendatangkan berkah dan rezeki yang melimpah untuk kehidupan mereka. Lakon yang dipilih adalah kisah tentang kepahlawanan dan kehidupan sehari-hari, terutama lakon yang memiliki unsur kerja keras dan semangat tinggi dalam menjalani hidup. Pada waktu wayang potehi dipentaskan diluar kelenteng, misalnya, di taman hiburan atau di rumah/pesta, ia berubah fungsi menjadi media kritik sosial dan sarana penyampaian ajaran moral

wordpress.com
wordpress.com

B. Awal Mula Potehi di Nusantara

Wayang potehi diperkirakan dibawa oleh imigran asal Tiongkok ke Nusantara sekitar abad ke-16 dan menyebar ke beberapa kota di Pulau Jawa. Data yang sahih berupa catatan awal tentang wayang potehi di Nusantara, berasal dari seorang pengelana berkebangsaan Inggris bernama Edmund Scott. Dia pergi ke Banten 2 kali, antara 1602 dan 1625. Ia menyebutkan, pertunjukan sejenis opera, yang diselenggarakan bila jung-jung akan berangkat ke atau bila kembali ke Tiongkok. Ia mengamati dengan teliti, bahwa pertunjukan ini berhubungan dengan penyembahan dan bahwa biarawan-biarawan mempersembahkan kurban, dan bersujud di tanah sebelum acara dimulai.

Scott menuliskan bahwa "mereka sangat menyukai sandiwara dan nyanyian, tetapi suara mereka adalah yang paling jelek yang akan didengar orang". Sandiwara atau  selingan itu mereka selenggarakan sebagai kebaktian kepada dewa-dewa mereka. Pada permulaannya, mereka lazim membakar kurban, para pendeta-nya berkali-kali berlutut, satu demi satu. Sandiwara ini biasa diadakan, apabila mereka melihat jung atau kapal berangkat dari Banten ke Tiongkok. Sandiwara ini kadang-kadang mulai pada tengah hari dan baru berakhir keesokan paginya, biasanya di jalan terbuka, di panggung yang didirikan untuk maksud itu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun