Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Pengalaman Menulis di Koran Kompas

28 Desember 2024   08:45 Diperbarui: 29 Desember 2024   07:50 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tulisan saya tentang Candi dan Museum yang dimasukkan ke dalam Rubrik Anak-anak (Dokumentasi pribadi)

Sejak 1990-an saya mulai memberanikan diri menulis di Kompas. Dikatakan berani karena sebelumnya ada ketakutan. Bayangkan banyak orang bilang masuk Kompas susah. Bukan sembarang orang loh yang bilang begitu, ada doktor, ada gurubesar, pokoknya banyak pakar.

Saya juga berpikir siapa sih saya. Hanya lulusan arkeologi yang tidak punya kantor. Yah boleh dibilang arkeolog mandiri, arkeolog tanpa kantor, arkeolog independen, atau penulis lepas.

Pada mulanya memang kecewa karena beberapa tulisan yang saya kirim ditolak oleh redaksi Kompas. Ada beberapa alasan yang dikemukakan redaksi seperti kurang menyangkut kepentingan pembaca, tema kurang aktual, dan kesulitan mendapatkan tempat.

Saya berpikir itu hanya masalah selera. Seperti halnya semangkok baso. Pasti ada yang bilang asinnya cukup, sementara menurut yang lain kurang asin atau terlalu asin.

Untung saya tidak putus asa. Tetap mencoba menulis di Kompas. Akhirnya setelah mencoba beberapa kali, tulisan saya dimuat. Wah cukup senang, berhasil nembus di Kompas. Maklum, Kompas merupakan koran terbesar di Indonesia. Hebat lo masuk Kompas, begitu kata beberapa teman.

Kalau  sudah masuk sekali, pasti ada rasa ingin lebih. Maka setiap ada tulisan saya coba kirim ke Kompas. Sebagai arkeolog, tentu saya menulis tentang masalah yang berdekatan dengan arkeologi, termasuk sejarah, pariwisata, dan museum. Bahkan numismatik, karena kebetulan saya juga gemar mengumpulkan uang lama.

Tulisan saya dalam Rubrik Metropolitan (Dokumentasi pribadi)
Tulisan saya dalam Rubrik Metropolitan (Dokumentasi pribadi)

Banyak rubrik

Baca juga: Kita Belum

Dulu memang media cetak, termasuk Kompas, menjadi satu-satunya sumber bacaan masyarakat. Waktu itu internet dan media daring belum ada. Tidak heran Kompas pernah terbit 40 halaman. Karena itu banyak rubrik yang ada pada Kompas. Yang saya ingat rubrik Opini, Teropong, Sorotan, Metropolitan, Humaniora, Anak-anak, dan Muda.

Saya sendiri cuma menulis dan mengirimkan tulisan itu ke Kompas. Saya tidak masalahkan mau masuk ke rubrik Opini, Teropong, atau lainnya. Itu hak redaksi saja. Yang penting honorariumnya kan?

Hanya yang dianggap paling 'bergengsi' adalah rubrik Opini. Dalam rubrik itu para penulisnya adalah orang-orang pintar seperti intelektual, akademisi, dan peneliti. Hanya saya yang orang mandiri rupanya.

Tulisan saya paling banyak masuk di rubrik Opini. Hal itulah yang membuat saya dikenal, malah dianggap pakar. Tidak dimungkiri, banyak nulis semakin dikenal. Pada kesempatan lain, tulisan saya pernah dimuat di rubrik Teropong, Sorotan, Metropolitan, Humaniora, Anak-anak, dan Muda.

Beberapa tulisan saya dalam Rubrik Opini (Dokumentasi pribadi)
Beberapa tulisan saya dalam Rubrik Opini (Dokumentasi pribadi)

Keberadaan halaman Kompas semakin tergerus sejak tumbuh internet dan media daring. Akibatnya tentu saja banyak rubrik hilang. Pada akhirnya hanya rubrik Opini yang masih terbuka untuk penulis luar.

Hanya Kompas masih punya media daring. Jadi kalau tulisan kita tidak dimuat di Kompas cetak, kemungkinan dimuat di kompas daring. Buka saja kompas.id.

Sayang sejak dua tahun lalu waktu saya terbatas. Saya harus jadi MC alias Momong Cucu. Menulis buat saya sebenarnya candu. Makin sering menulis, makin sering membaca. Selain itu sebagai terapi kesehatan karena tangan bergerak untuk mengetik dan pikiran berjalan untuk merangkai kata-kata.

Kalau sudah hobi menulis yah saya lakukan saja, meskipun tanpa honorarium seperti di Kompasiana ini. Yang penting masyarakat tercerdaskan. Beberapa tulisan yang dikembalikan oleh Kompas, sering saya masukkan ke Kompasiana loh. Demikianlah pengalaman menulis di Kompas, koran bergengsi di Indonesia.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun