Menjadi penulis, Â apalagi memakai kata lepas di belakangnya, bukan hanya sebuah judi atas kehidupan. Bisa jadi seperti bunuh diri atas nama finansial. Alasan paling utama adalah penghasilan penulis lepas atau freelancer tidak pasti. Sebelum pandemi Covid-19 saja penghasilan tidak pasti, apalagi di masa pandemi lebih tidak pasti. Begitu pula sesudah pandemi tetap mengalami pemerosotan.
Honorarium menulis di media cetak, termasuk di media online, semakin menurun. Memang dimaklumi karena pendapatan media cetak dari iklan juga menurun. Sementara banyak perusahaan atau pemasang iklan belum tertarik kepada media online.
Boleh dibilang sebagian freelancer merupakan gabungan jurnalis/wartawan dengan ilmuwan. Jurnalis plus, begitulah singkatnya. Banyak freelancer berpendidikan minimal S-1 dari berbagai disiplin ilmu. Jadi tingkat keilmuan mereka tidak perlu diragukan lagi. Tulisan-tulisan mereka bersifat informatif, edukatif, rekreatif, dan mencerdaskan.
Freelancer bekerja secara wiraswasta tanpa terikat jam kerja. Biasanya freelancer diminta menulis sebuah topik tertentu oleh media berdasarkan spesialisasi si freelancer. Ini karena pihak media sudah mengenal si freelancer tersebut. Sering kali juga si freelancer menulis untuk media berdasarkan gagasannya sendiri, terutama ketika ada topik atau isu yang hangat.
Bertahan hidupÂ
Freelancer harus bertahan hidup di tengah ketidakpastian dengan penghasilan pas-pasan. Sedangkan pekerja formal masih sedikit bisa bertahan hidup karena masih mendapatkan gaji bulanan dari perusahaan. Apalagi PNS atau ASN, lebih beruntung karena seumur hidup ditanggung oleh negara. Meskipun tidak bekerja lagi, PNS atau ASN tetap menerima penghasilan lewat aturan pensiun.
Sedihnya, freelancer tidak memiliki organisasi yang mendukung kehidupan mereka. Beda dengan pekerja atau buruh yang tergabung dalam Federasi Buruh atau Serikat Pekerja. Jadi freelancer benar-benar pejuang mandiri.
Dalam menulis saya yakin freelancer tetap menggunakan prinsip jurnalistik, seperti berdasarkan fakta dan data. No hoax, begitu diperhatikan para freelancer. Saya sendiri pernah mengalami masa-masa emas ketika media cetak masih eksis. Mungkin saya termasuk orang yang paling sering menulis di berbagai media cetak, yakni surat kabar dan majalah. Lebih dari 10 media cetak Jakarta dan daerah pernah memuat tulisan saya.
Terus terang, menulis ibarat candu. Kalau tidak menulis, pasti ada perasaan lain. Saya lihat banyak Kompasianer sebelumnya berprofesi wartawan. Bahkan ada yang masih berprofesi peneliti atau guru. Gaya tulisan mereka bermacam-macam, seperti opini, ilmiah populer, dan feature. Tidak mengapa karena lain orang lain gaya. Yang penting tulisan itu bermanfaat atau memiliki nilai tambah buat masyarakat.
Belum mendapat perhatian
Profesi penulis di Indonesia rupanya belum mendapat perhatian dari pemerintah. Tapi dibutuhkan oleh berbagai kalangan atau institusi untuk membantu mempromosikan atau mempublikasikan kegiatan yang mereka lakukan. Bayangkan kalau ada kegiatan tanpa promosi, bagaimana masyarakat bisa tahu.
Beda dengan negara tetangga kita, Malaysia. Di sana penulis mendapat tunjangan dari negara. Jadi mereka tidak perlu lagi memikirkan urusan perut keluarga, toh sudah ada penghasilan bulanan. Yang penting menulis dan menulis.
Sampai sekarang penghasilan freelancer masih belum pasti. Beruntung kalau ada freelancer yang dilibatkan sebagai penulis setan, istilahnya ghost writer. Hasil ada tapi nama si freelancer tidak dicantumkan. Tentu ini berdasarkan kesepakatan dalam perjanjian. Di pihak lain mereka harus bertahan hidup. Saya percaya dan yakin, freelancer memiliki pikiran berkualitas sehingga mampu produktif dan menghasilkan karya kreatif.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H