Musuh tinggalan arkeologi bisa dikatakan terbagi atas dua kelompok, yakni non-manusia dan manusia. Bencana banjir, gempa bumi, dan tsunami, misalnya, pernah merusakkan sejumlah candi di Jawa dan nisan-nisan kuno di Aceh. Kita sulit mengalahkan alam. Tapi kita masih bisa meminimalisasi kerusakan akibat alam.
Vandalisme, penggalian liar, pencurian, pemenggalan kepala arca, dan pengrusakan merupakan contoh bencana oleh manusia. Ada yang disengaja, ada pula yang tidak disengaja. Dari kesemua itu, bencana paling berbahaya berasal dari api atau kebakaran. Bencana kebakaran bisa meluluhlantakan tinggalan arkeologi, terutama yang terbuat dari bahan-bahan ringan.
Contoh yang jelas adalah kebakaran pada Museum Nasional yang terjadi pada 16 September 2023 malam. Sebagian gedung museum gosong terkena bara api. Yang lebih menyedihkan, sebagian koleksi museum hampir tidak tersisa, misalnya koleksi miniatur rumah adat yang terbuat dari kayu, bambu, dan ijuk.
Koleksi lain yang masih tersisa berbahan logam. Meskipun meleleh, ibarat luka bakar pada manusia sebesar 90 persen, namun masih bisa dikenali. Saya melihat serpihan nekara sewaktu diundang Museum Nasional pada 11 Oktober 2024. Sisanya hanya beberapa potong.
Aslinya nekara berukuran cukup besar. Maklum fungsinya sebagai genderang. Nekara yang hampir tidak tersisa itu berusia ribuan tahun, berasal dari masa prasejarah Indonesia. Nekara berfungsi sebagai genderang perang, media untuk memanggil hujan, dan wadah kubur. Â Masyarakat zaman dahulu percaya nekara memiliki kekuatan gaib yang dapat memberikan perlindungan dan kekuatan.
Pada pameran itu saya melihat pula sebuah arca logam kecil tanpa kepala. Yah. Tentu akibat kebakaran. Arca tersebut masih bisa dikenali.
Bencana akibat api memang luar biasa. Si jago merah itu mampu menghanguskan dan  meluluhlantakkan koleksi. Cuma koleksi batu yang lebih bertahan, paling-paling hitam atau gosong.
Dirusak
Dulu di Museum Nasional terdapat prasasti atau batu bertulis yang sudah tidak utuh lagi. Kemungkinan besar, koleksi itu dirusak secara tidak disengaja atau disengaja. Akibatnya para ahli epigrafi (pengetahuan membaca prasasti) sulit membaca aksara kuno itu secara utuh. Jadilah ada bagian-bagian yang tidak terbaca, karena pecahan-pecahan batunya tidak ditemukan lagi. Yang rugi tentu saja masyarakat sekarang dan nanti karena tidak tahu apa informasi di dalam prasasti itu.