Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Paslon Gubernur Jakarta Harus Berguru kepada Arkeolog dan Sejarawan

26 September 2024   12:56 Diperbarui: 26 September 2024   12:58 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengerahan masal pembuatan kanal (Sumber: tangkapan layar materi Dr. Sonny Wibisono)

Sonny Wibisono membahas tentang kanal dan banjir di Batavia. Ia memulai dengan kisah tentang  muara Kali atau Sungai Ciliwung yang dihuni oleh seorang pangeran yang mewakilli Kesultanan Banten yaitu Pangeran Jayakarta. Huniannya menempati sisi barat dari muara Ciliwung.  Rekayasa awal dilakukan sang pangeran yang membuat sodetan Ciliwung untuk membuat parit keliling dari pemukiman.

Menurut Sonny, pembangunan kanal Batavia memperlihatkan teknik adaptif. Ketika menghadapi lahan basah menyebabkan tanah lunak dan mengalami penurunan. Teknik pemasangan cerucuk dilakukan untuk mendirikan turap pada tepian kanal. Kenampakannya masih dapat dilihat di bawah turap di beberapa tempat.

Teknik yang dilakukan dalam pembangunan kanal antara lain penyodetan atau pelurusan sungai berkelok untuk melancarkan aliran air. Untuk menggali terusan dikerahkan banyak orang. Mereka tidak hanya menggali kanal tetapi juga membangun bendungan, untuk menaikkan air dan pintu air dalam pengendalian arah aliran.

Namun meskipun sudah ada kanal, ternyata banjir masih melanda Batavia. Tercatat pada 1898 Koningsplein banjir cukup besar. Begitu pun di Kampung Cina. Ketinggian banjir sekitar setengah roda delman. Bayangkan cukup tinggi.

Penduduk masih sedikit dan masih banyak area penyerapan air saja masih banjir. Bandingkan dengan penduduk masa modern yang banyak dengan sedikit area penyerapan. Banjir kerap terjadi.

Banjir masih menjadi problem hingga kini. Belum ada satu pun gubernur yang mampu mengendalikan banjir. Sistem kanal telah gagal, sebagaimana disertasi Dr. Restu Gunawan. Pernah diadakan normalisasi lalu diganti naturalisasi, tetap saja gagal.

Saya rasa mumpung belum terlambat, ketiga paslon Gubernur Daerah Khusus Jakarta harus berguru kepada arkeolog dan sejarawan, untuk memahami masa lalu Jakarta.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun