Sonny Wibisono membahas tentang kanal dan banjir di Batavia. Ia memulai dengan kisah tentang  muara Kali atau Sungai Ciliwung yang dihuni oleh seorang pangeran yang mewakilli Kesultanan Banten yaitu Pangeran Jayakarta. Huniannya menempati sisi barat dari muara Ciliwung.  Rekayasa awal dilakukan sang pangeran yang membuat sodetan Ciliwung untuk membuat parit keliling dari pemukiman.
Menurut Sonny, pembangunan kanal Batavia memperlihatkan teknik adaptif. Ketika menghadapi lahan basah menyebabkan tanah lunak dan mengalami penurunan. Teknik pemasangan cerucuk dilakukan untuk mendirikan turap pada tepian kanal. Kenampakannya masih dapat dilihat di bawah turap di beberapa tempat.
Teknik yang dilakukan dalam pembangunan kanal antara lain penyodetan atau pelurusan sungai berkelok untuk melancarkan aliran air. Untuk menggali terusan dikerahkan banyak orang. Mereka tidak hanya menggali kanal tetapi juga membangun bendungan, untuk menaikkan air dan pintu air dalam pengendalian arah aliran.
Namun meskipun sudah ada kanal, ternyata banjir masih melanda Batavia. Tercatat pada 1898 Koningsplein banjir cukup besar. Begitu pun di Kampung Cina. Ketinggian banjir sekitar setengah roda delman. Bayangkan cukup tinggi.
Penduduk masih sedikit dan masih banyak area penyerapan air saja masih banjir. Bandingkan dengan penduduk masa modern yang banyak dengan sedikit area penyerapan. Banjir kerap terjadi.
Banjir masih menjadi problem hingga kini. Belum ada satu pun gubernur yang mampu mengendalikan banjir. Sistem kanal telah gagal, sebagaimana disertasi Dr. Restu Gunawan. Pernah diadakan normalisasi lalu diganti naturalisasi, tetap saja gagal.
Saya rasa mumpung belum terlambat, ketiga paslon Gubernur Daerah Khusus Jakarta harus berguru kepada arkeolog dan sejarawan, untuk memahami masa lalu Jakarta.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H