Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masalah Chattra pada Stupa Induk Candi Borobudur

12 Juli 2024   08:36 Diperbarui: 14 Juli 2024   05:05 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stupa induk candi Borobudur ketika masih amburadul/kiri dan chattra hasil rekonstruksi van Erp/kanan (Sumber: Materi Prof. Noerhadi Magetsari)

Kamis, 11 Juli 2024 saya diundang oleh Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah BRIN untuk menghadiri bedah buku Chattra Pengayoman Chakrawarttin. Judul lengkap buku bisa dilihat pada foto di bawah.

Buku karya Hendrick Tanuwidjaja itu ditulis secara populer dengan tebal 100 halaman. Isinya yang utama tentang chattra, atau istilah awam payung. Chattra dikenal dalam Buddha sebagai lambang perlindungan. Bahkan, menurut Hendrick, sebagai penunjuk pusat dunia, penanda keningratan, perlambang keluhuran, dan persembahan mulia. 

Bagian-bagian chatrra (Sumber: Buku Chattra Pengayoman Chakrawarttin)
Bagian-bagian chatrra (Sumber: Buku Chattra Pengayoman Chakrawarttin)

Sakral

Chattra dipandang mutlak keberadaannya dan dianggap sakral. Chattra bisa dilihat pada beberapa candi di Indonesia atau bangunan suci di sejumlah negara. Namun sesungguhnya tidak semua candi atau bangunan suci mempunyai chattra. Mungkin karena Buddha memiliki banyak aliran, seperti Mahayana dan Hinayana. Chattra antara lain terdapat pada candi Borobudur. Namun ini masih menjadi perdebatan, apakah chattra itu terdapat pada stupa induk di bagian tertinggi.

Dalam buku itu Hendrick mengatakan chattra adalah bagian penting dari stupa yang melambangkan cakra-cakra di tubuh bagian atas mulai dada hingga ke kepala. Tiadanya chattra, kata Hendrick, sama saja berarti membuat stupa menjadi tidak memiliki kepala, membuat manusia seolah tidak memiliki jantung, dada, lidah, telinga, dan ginjal.  

Stupa induk candi Borobudur ketika masih amburadul/kiri dan chattra hasil rekonstruksi van Erp/kanan (Sumber: Materi Prof. Noerhadi Magetsari)
Stupa induk candi Borobudur ketika masih amburadul/kiri dan chattra hasil rekonstruksi van Erp/kanan (Sumber: Materi Prof. Noerhadi Magetsari)

Menyalahi prinsip pemugaran

Pada pemugaran oleh van Erp, di stupa induk pernah terpasang chattra. Namun kemudian diturunkan kembali karena batu-batu asli hanya tersisa sedikit. Jadi menyalahi prinsip pemugaran.

Di candi Borobudur gambar chattra terdapat pada sejumlah relief. Berbagai bentuk dan ukuran chattra terlihat pada relief itu.

Lebih lanjut Hendrick mengatakan peninggalan stupa chattra terdapat di beberapa daerah di Nusantara, seperti Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Sumatra. Bahkan bentuk stupa dan chattra masih dipakai pada makam para sultan di Aceh dan Banten.

Prof. Noerhadi Magetsari, arkeolog yang mendalami kebudayaan Buddhisme, memberikan pemaparan soal candi Borobudur dan Buddha. Cerita tentang sejarah pemugaran Borobudur diungkapkan Noerhadi. Misalnya tentang stupa induk candi Borobudur saat masih amburadul dan chattra hasil rekonstruksi van Erp.

Dari kiri Hendrick Tanuwidjaja, Noerhadi Magetsari, Lisda Meyanti (moderator), dan Titi Surti Nastiti (Sumber: Dokpri)
Dari kiri Hendrick Tanuwidjaja, Noerhadi Magetsari, Lisda Meyanti (moderator), dan Titi Surti Nastiti (Sumber: Dokpri)

Chattra dalam prasasti

Pembahas berikutnya arkeolog Dr. Titi Surti Nastiti. Ia mendalami masalah kepurbakalaan klasik atau masa Hindu-Buddha. Spesialisasinya adalah prasasti.

Titi mempertanyakan mengapa Hendrick tidak menjelaskan bagian-bagian dari kakawin Nagarakretagama (1365 M) dan prasasti Gandhakuti (1042 M) yang berhubungan dengan chattra. Selanjutnya menurut Titi di candi Borobudur chattra tidak hanya memayungi stupa tetapi juga ada aneka payung sebagai simbol kekuasaan. Berbagai bentuk payung itu mencerminkan siapa pemakainya, apakah kalangan bangsawan, agamawan, atau pemuka masyarakat.

Kata payung dan chattra, lanjut Titi, terdapat dalam prasasti dalam konteks yang berbeda. Ada yang bermakna payung bulat, ada pula pejabat kerajaan yang bertugas menyongsong tamu dengan membawa payung. Sementara chatra (dengan satu t) dalam prasasti digunakan sebagai kata sifat, seperti dalam pinaka catra  (sebagai payung, sebagai pelindung), biasanya diterapkan kepada seorang raja yang salah satu tugasnya adalah melindungi rakyatnya.

Cukup banyak pertanyaan atau diskusi tentang buku itu. Namun di luar konteks bedah buku, sehingga terpaksa dipendam. Umumnya pertanyaan soal pemasangan chattra apakah setuju atau tidak setuju.

Buku Chattra karya Hendrick Tanuwidjaja (Dokpri)
Buku Chattra karya Hendrick Tanuwidjaja (Dokpri)

Sebenarnya soal chattra soal dibicarakan pada Focus Group Discussion (FGD) 2018. Kegiatan diikuti oleh berbagai kalangan, dari akademisi, peneliti, hingga pejabat terkait. Hasil intinya adalah tidak setuju dengan pemasangan kembali chattra. Memang ada yang setuju dengan pemasangan chattra, namun jumlahnya rendah.  

Belum lama ini dalam memperingati Hari Purbakala 14 Juni 2024, IAAI Komda D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah telah mengeluarkan beberapa rumusan. Diskusi peringatan HUT ke-111 Purbakala itu bertopik "Sekali Lagi tentang Chattra".

Dua rumusan yang cukup penting antara lain  "Terpasang maupun tidaknya chattra jelas sama sekali tidak akan mempengaruhi kesempurnaan dan keagungan Candi Borobudur, baik dari segi keagamaan maupun dari segi penampilan fisiknya. Dari ruang interpretasi keagamaan, terpasang atau tidaknya chattra bukanlah suatu hal yang penting, apalagi jika ditinjau dari perspektif filosofi spiritualitas yang sangat mendalam dari pengejawantahan piwulang Candi Borobudur".

Rumusan lain, "Batu-batu penyusun struktur chattra hasil rekonstruksi van Erp pada pemugaran I (1907-1911) diketahui mempunyai permasalahan serius dalam hal keasliannya, sehingga tidak layak dan tidak direkomendasikan apabila dipasangkan kembali pada stupa induk candi Borobudur. Hal ini telah dibuktikan melalui "Kajian Rekonstruksi Chattra pada Stupa Induk Candi Borobudur" tahun 2018 oleh Balai Konservasi Borobudur".

Semoga ada revisi pada buku ini. Soalnya menurut Hendrick buku ini baru 30 persen dari seluruh data. Mungkin segala masukan bisa ditambahkan pada buku berikutnya.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun