Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenangan Menggunakan Mesin Tik Manual dan Kamera Analog

3 Juli 2024   19:15 Diperbarui: 3 Juli 2024   19:29 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tiga kamera analog yang pernah saya pakai untuk tugas jurnalistik (Sumber: Dokpri)

Saya termasuk generasi kolonial yang beruntung dibandingkan generasi milenial dan generasi sesudahnya. Selama bertahun-tahun saya sangat merasakan sentuhan tombol-tombol huruf dan tanda pada mesin tik. Bunyi tak tik tak tik sering kali menemani aktivitas keseharian saya. Itulah mesin tik manual, sebagaimana orang menyebutnya, untuk membedakannya dengan mesin tik listrik.

Mesin tik manual saya masih terawat hingga kini. Bahkan masih bisa digunakan. Tombol pada mesin tik boleh dibilang serupa dengan komputer. Hanya sentuhanlah yang membedakan keduanya. Tombol mesin tik harus ditekan agak kuat. 

Bahkan kalau sudah lama dipakai, harus lebih kuat. Soalnya pita mesin tik sudah semakin kering sehingga huruf pada kertas kurang nyata. Sebaliknya tombol pada keyboard komputer cukup disentuh ringan. Maklum bekerja dengan bantuan listrik.

Pada mesin tik manual tidak ada istilah delete. Inilah seninya, kita harus hati-hati sekali. Kalau bisa tidak mendapatkan kesalahan tik. Seandainya salah tik, maka harus diberi cairan berwarna putih pada huruf atau kata yang salah. Setelah itu ditik kembali huruf atau kata yang benar.

Mesin tik manual dengan huruf pica setia menemani saya sejak 1980-an (Sumber: Dokpri)
Mesin tik manual dengan huruf pica setia menemani saya sejak 1980-an (Sumber: Dokpri)

Dibandingkan komputer, sulit menghasilkan tulisan dengan rata kanan. Kalaupun mau, kita harus menghitung huruf sebelum mendekati garis akhir. Dalam mesin tik manual tidak ada huruf bold atau italic. Untuk membedakan, paling kita hanya memberi tanda garis di bawah kata atau kalimat yang dianggap penting. Cara lain memberi warna merah karena kebetulan ada pita berwarna hitam merah.

Di masa kini mesin tik manual belum hilang. Banyak toko buku, termasuk toko daring, masih menjual mesin tik manual, termasuk pita dan penghapus tulisan yang populer disebut tipp-ex. Saya pernah lihat di toko buku masih ada pita merk Swallow dan Daito. Ada yang berwarna hitam, ada pula yang hitam dan merah.

Dulu, masa 1980-an mesin tik menjadi andalan saya untuk membuat tulisan. Oh ya, mesin tik manual hanya mengenal satu jenis huruf, elite (ukuran kecil) dan pica (lebih besar sedikit dari elite). Meskipun sudah ada komputer, mesin tik manual sesekali saya pakai loh. Yah sekadar nostalgia.

Meskipun sudah antik, masih bisa dipakai mengetik (Sumber: Dokpri)
Meskipun sudah antik, masih bisa dipakai mengetik (Sumber: Dokpri)

Kamera

Saya lama menjadi jurnalis. Selain mesin tik, senjata andalan saya adalah kamera. Karena ada kamera digital, maka kamera masa lalu itu dikenal sebagai kamera analog. Tidak banyak orang mampu menggunakan kamera analog. 

Cukup rumit penggunaannya karena tergantung ASA (jenis atau ukuran kepekaan film, seperti ASA 100 atau di atasnya), diafragma, dan kecepatan. 

Beda dengan kamera digital, apalagi kamera pada ponsel. Saat ini hampir semua orang bisa memotret karena boleh dibilang langsung jepret jadi.

Kamera analog menggunakan film negatif hitam putih atau berwarna. Untuk mendapatkan hasil bagus, bisa menggunakan film positif atau slide. Semua film harus diproses dengan cara mencuci dan mencetak. Sebagian besar harus dibawa ke foto studio.

Bagian belakang kamera manual, terlihat roll film/tanda panah (Sumber: Dokpri)
Bagian belakang kamera manual, terlihat roll film/tanda panah (Sumber: Dokpri)

Dulu kalau tugas lapangan, saya membawa tiga kamera, masing-masing berisi film hitam putih, film berwarna, dan slide. Paling sedikit saya menghabiskan masing-masing tiga roll film. 

Film hitam putih dicuci dan dicetak sendiri di kamar gelap. Waktu itu cukup berat membawa perlengkapan fotografi. 

Saya harus membawa dua tas isi kamera, belum lagi memakai rompi kargo untuk membawa perlengkapannya, termasuk tripod.

Biasanya satu roll film paling sedikit berisi 24 frame dan paling banyak 36 frame. Inilah borosnya menggunakan film. Bandingkan dengan foto pada kamera digital atau ponsel yang bisa dihapus bila kita anggap jelek.

Tas kamera yang sering saya bawa tugas liputan (Sumber: Dokpri)
Tas kamera yang sering saya bawa tugas liputan (Sumber: Dokpri)

Sesuai kemajuan teknologi, maka kemudian tercipta scanner, yakni alat untuk mendigitalkan film negatif dan film positif. Ini tentu menguntungkan kita yang hidup pada zaman analog. Sayang banyak film negatif saya belum sempat di-scan.***

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun