Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Manusia Purba Harus Berlari untuk Bertahan Hidup

22 Oktober 2023   08:11 Diperbarui: 22 Oktober 2023   08:22 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi manusia dari berjalan bungkuk, tegak, hingga berlari (Sumber: Komunitas Luar Kotak)

Manusia yang hidup pada zaman sekarang bisa dibilang manusia yang paling lemah dalam hal kekuatan fisik. Ini dibandingkan dengan manusia prasejarah atau manusia purba. Bayangkan, manusia purba memiliki kemampuan berlari yang luar biasa. Kalau tidak mampu berlari cepat, tentu manusia purba tidak bakalan mampu menangkap mangsa. Padahal, hewan menjadi bahan makanan selain tumbuh-tumbuhan. Bahkan, kalau tidak bisa berlari kencang, mereka akan diterkam hewan buas.

Dalam dunia sains dikenal istilah Podiatri, yang merujuk kepada anatomi dan fisiologi kaki hominid, termasuk dalam hubungannya dengan persendian dan tungkainya. Bahkan dikaitkan dengan tulang belakang dan sistem rangkanya. Podiatri ini telah mendapat tempat istimewa dalam kajian evolusi manusia berkaitan dengan temuan-temuan fosil dari sisa-sisa ekstremitas hominid dalam lapisan-lapisan Pleistosen atau sebelumnya yang memperlihatkan adanya perbedaan-perbedaan anatomisnya yang makin samar seturut perjalanan waktu kemari.

Podiatri

Podiatri, menurut pakar paleoantropologi Rusyad Adi Suriyanto, telah berkontribusi dalam paleoantropologi, yakni berperan memberikan perspektif yang lebih luas dalam penelitian sisa-sisa hayat hominid sampai manusia arkeologis yang mengosentrasikan pada anatomi dan aktivitas kakinya. Sejauh ini temuan-temuannya makin melimpah, termasuk di Indonesia, yang dapat meliputi tulang-tulang kaki dan tungkai, bahkan jejak-jejak kakinya.

Menurut Rusyad, pada Agustus 1891, Marie Eugne Franois Thomas Dubois telah menemukan gigi molar isolatif yang masih diragukan sebagai hominid dalam suatu ekskavasi di Trinil, Ngawi, Jawa Timur. Dua bulan kemudian, satu meter dari tempat temuan tersebut ditemukan atap tengkorak, fosil yang akan dikenal sebagai Pithecanthropus. Pada Agustus 1892 ditemukan fosil ketiga yang berupa femur kiri hampir lengkap, berjarak sekitar 10 -- 15 meter dari temuan tersebut. Beliau telah menerbitkan sebuah deskripsi dari temuan-temuan fosil itu, dan memberi nama taksonomis Pithecanthropus erectus ("manusia kera yang berjalan tegak") pada 1894.

"Publikasi ini menggemparkan jagat ilmu pengetahuan waktu itu karena personifikasinya tidak menggambarkan sebagai kera atau manusia, tetapi sebagai suatu antara," kata Rusyad. Seketika itu pula reaksi-reaksi merebak luas di antara para ilmuwan khususnya Eropa. Eugne Dubois tetap dengan pendirian awalnya itu. Peristiwa ini telah mendudukkan Indonesia dalam paleoantropologi dunia.

Ilustrasi manusia dari berjalan bungkuk, tegak, hingga berlari (Sumber: Komunitas Luar Kotak)
Ilustrasi manusia dari berjalan bungkuk, tegak, hingga berlari (Sumber: Komunitas Luar Kotak)

Telanjang kaki 

Berjalan telanjang kaki telah dilakukan manusia selama jutaan tahun. Pengalaman ini memberikan suatu kesempatan untuk mempelajari bagaimana seleksi alam mengadaptasi badan manusia untuk berjalan. Di sini manusia telah mengembangkan kemampuan untuk berjalan telanjang kaki, suatu gaya berjalan yang meminimalkan dampak terburuk dan menghadirkan peningkatan proprioception (istilah anatomis yang merujuk kepada suatu sensasi yang dirasakan bagian badan, terutama ekstremitas-ekstremitas dan otot-ototnya, tatkala melakukan gerakan) dan kekuatan kaki, yang dihipotesiskan untuk membantu menghindari cedera, terlepas dari apakah seseorang itu beralas-kaki. Begitu cerita Rusyad.

Ditambahkan Rusyad, suatu eksperimen yang telah dilakukan oleh Cunningham dkk menyimpulkan bahwa manusia adalah pejalan kaki yang paling ekonomis, tetapi bukan pelari yang paling ekonomis. Jika kita tengok sebentar ke para pemburu-pengumpul yang sanggup melakukan perjalanan jauh untuk mendapatkan kecukupan nutrisinya, tentu ini bukan hal yang sangat mengejutkan, karena manusia telah memperoleh warisan postur kaki-kakinya dari para leluhur kita, hominid-hominid arboreal.

Salah satu karakteristik perilaku yang membedakan manusia modern adalah suatu kebiasan menggunakan beberapa bentuk alas kaki, yang berguna untuk insulasi termal dalam iklim dingin dan untuk perlindungan kaki plantar dalam semua iklim. Pemakaian alas kaki masih sangat jarang ditemukan dalam kurun Paleolitik Tengah, namun semakin sering ditemukan dalam kurun pertengahan Paleolotik Atas.  Rusyad kembali bercerita.

Salah satu koleksi di Museum Sangiran (Sumber: travel.tribunnews.com)
Salah satu koleksi di Museum Sangiran (Sumber: travel.tribunnews.com)

Gagal beradaptasi

Homo erectus merupakan salah satu spesies manusia yang pernah menghuni bumi. Perubahan iklim dan lingkungan perlahan-lahan selama jutaan tahun telah membuat spesies tersebut gagal beradaptasi dan punah.   

Bipedalisme (berjalan dengan dua kaki), mengubah cara bergerak manusia purba, termasuk berlari. Beberapa fosil Homo menunjukkan ciri bipedal mirip manusia modern. Bipedalisme adalah perubahan penting dalam evolusi manusia yang awalnya hidup dengan empat kaki. Dimulailah sebuah keterampilan baru: berlari dengan posisi tubuh berdiri tegak.    

Manusia purba tak berhenti mengejar mangsa sampai hewan buruan lelah. Ini disebut 'kegigihan berburu' yang dilakukan pemburu zaman purba dua juta tahun lalu. Metode ini digunakan oleh manusia purba Rarmuri untuk berburu rusa di pegunungan Meksiko utara, dan Aborigin yang berburu kanguru di Australia. Bushmen Kalahari menggunakan teknik ini satu dekade lalu. Mereka harus bisa berlari dengan kecepatan rata-rata 9:40 menit/mil untuk melintasi lebih dari 20 mil (32 km) di medan berbukit dan berpasir dalam suhu 107 derajat. Bukan cuma kecepatan, daya tahan dalam berlari adalah kunci untuk bisa bertahan hidup.

Kubah besar

Pada awalnya Sangiran adalah suatu kubah besar yang memiliki cekungan raksasa yang terbentuk karena erosi di bagian puncaknya. Ditemukan pada 1883 dan ditetapkan sebagai Early Man Site penting pada 1996 oleh UNESCO. Sangiran berdiri sejajar bersama situs Zhoukoudian (Cina), Willandra Lakes (Australia), Olduvai Gorge (Tanzania), dan Sterkfontein (Afrika Selatan). Bahkan dianggap lebih baik dalam penemuan, karena hingga saat ini telah ditemukan lebih dari 100 individu Homo erectus, yang mengukuhkan Sangiran sebagai kontributor manusia purba terbesar di dunia. Lebih dari 50 persen Homo erectus yang ditemukan di dunia diwakili Homo erectus Sangiran.

Tugas kita sekarang adalah menjelaskan asal-usul kehadiran manusia di dunia dengan mempopulerkan Sangiran, sekaligus mengabarkan kepada dunia betapa bernilainya situs ini. Diharapkan kita mampu menjaga, menyelamatkan, dan melestarikan situs yang menjadi "missing-link" dalam proses evolusi manusia ini.  Semoga kegiatan SangiRun, yang diisi dengan lomba lari, festival budaya, pasar seni, dan pesta kuliner berkontribusi besar untuk pelestarian situs Sangiran.***

               

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun