Manusia yang hidup pada zaman sekarang bisa dibilang manusia yang paling lemah dalam hal kekuatan fisik. Ini dibandingkan dengan manusia prasejarah atau manusia purba. Bayangkan, manusia purba memiliki kemampuan berlari yang luar biasa. Kalau tidak mampu berlari cepat, tentu manusia purba tidak bakalan mampu menangkap mangsa. Padahal, hewan menjadi bahan makanan selain tumbuh-tumbuhan. Bahkan, kalau tidak bisa berlari kencang, mereka akan diterkam hewan buas.
Dalam dunia sains dikenal istilah Podiatri, yang merujuk kepada anatomi dan fisiologi kaki hominid, termasuk dalam hubungannya dengan persendian dan tungkainya. Bahkan dikaitkan dengan tulang belakang dan sistem rangkanya. Podiatri ini telah mendapat tempat istimewa dalam kajian evolusi manusia berkaitan dengan temuan-temuan fosil dari sisa-sisa ekstremitas hominid dalam lapisan-lapisan Pleistosen atau sebelumnya yang memperlihatkan adanya perbedaan-perbedaan anatomisnya yang makin samar seturut perjalanan waktu kemari.
Podiatri
Podiatri, menurut pakar paleoantropologi Rusyad Adi Suriyanto, telah berkontribusi dalam paleoantropologi, yakni berperan memberikan perspektif yang lebih luas dalam penelitian sisa-sisa hayat hominid sampai manusia arkeologis yang mengosentrasikan pada anatomi dan aktivitas kakinya. Sejauh ini temuan-temuannya makin melimpah, termasuk di Indonesia, yang dapat meliputi tulang-tulang kaki dan tungkai, bahkan jejak-jejak kakinya.
Menurut Rusyad, pada Agustus 1891, Marie Eugne Franois Thomas Dubois telah menemukan gigi molar isolatif yang masih diragukan sebagai hominid dalam suatu ekskavasi di Trinil, Ngawi, Jawa Timur. Dua bulan kemudian, satu meter dari tempat temuan tersebut ditemukan atap tengkorak, fosil yang akan dikenal sebagai Pithecanthropus. Pada Agustus 1892 ditemukan fosil ketiga yang berupa femur kiri hampir lengkap, berjarak sekitar 10 -- 15 meter dari temuan tersebut. Beliau telah menerbitkan sebuah deskripsi dari temuan-temuan fosil itu, dan memberi nama taksonomis Pithecanthropus erectus ("manusia kera yang berjalan tegak") pada 1894.
"Publikasi ini menggemparkan jagat ilmu pengetahuan waktu itu karena personifikasinya tidak menggambarkan sebagai kera atau manusia, tetapi sebagai suatu antara," kata Rusyad. Seketika itu pula reaksi-reaksi merebak luas di antara para ilmuwan khususnya Eropa. Eugne Dubois tetap dengan pendirian awalnya itu. Peristiwa ini telah mendudukkan Indonesia dalam paleoantropologi dunia.
Telanjang kakiÂ
Berjalan telanjang kaki telah dilakukan manusia selama jutaan tahun. Pengalaman ini memberikan suatu kesempatan untuk mempelajari bagaimana seleksi alam mengadaptasi badan manusia untuk berjalan. Di sini manusia telah mengembangkan kemampuan untuk berjalan telanjang kaki, suatu gaya berjalan yang meminimalkan dampak terburuk dan menghadirkan peningkatan proprioception (istilah anatomis yang merujuk kepada suatu sensasi yang dirasakan bagian badan, terutama ekstremitas-ekstremitas dan otot-ototnya, tatkala melakukan gerakan) dan kekuatan kaki, yang dihipotesiskan untuk membantu menghindari cedera, terlepas dari apakah seseorang itu beralas-kaki. Begitu cerita Rusyad.
Ditambahkan Rusyad, suatu eksperimen yang telah dilakukan oleh Cunningham dkk menyimpulkan bahwa manusia adalah pejalan kaki yang paling ekonomis, tetapi bukan pelari yang paling ekonomis. Jika kita tengok sebentar ke para pemburu-pengumpul yang sanggup melakukan perjalanan jauh untuk mendapatkan kecukupan nutrisinya, tentu ini bukan hal yang sangat mengejutkan, karena manusia telah memperoleh warisan postur kaki-kakinya dari para leluhur kita, hominid-hominid arboreal.
Salah satu karakteristik perilaku yang membedakan manusia modern adalah suatu kebiasan menggunakan beberapa bentuk alas kaki, yang berguna untuk insulasi termal dalam iklim dingin dan untuk perlindungan kaki plantar dalam semua iklim. Pemakaian alas kaki masih sangat jarang ditemukan dalam kurun Paleolitik Tengah, namun semakin sering ditemukan dalam kurun pertengahan Paleolotik Atas. Â Rusyad kembali bercerita.