Jutaan tahun yang lalu sebagian besar wilayah bumi masih berupa perairan. Begitu juga di Nusantara. Pada akhir zaman Tersier, banyak wilayah Nusantara berubah dari lautan menjadi daratan.
Karena berupa daratan inilah, maka manusia purba dari negeri seberang mampu mencapai Nusantara. Di Nusantara, sebagian manusia purba menetap di situs Sangiran.
Sangiran sendiri sekitar 2,4 juta tahun silam, masih berupa lautan, sebagaimana buku Sangiran, Situs Prasejarah Dunia tulisan Harry Widianto dan Iwan SB. Pada 1,8 juta hingga 900.000 tahun silam, lingkungan Sangiran berubah dari lingkungan laut menjadi lingkungan rawa. Saat itu hidup beberapa jenis hewan, antara lain kuda sungai, gajah, sapi, kerbau, banteng, dan rusa.
Pada 1,5 juta tahun yang lalu manusia purba Homo erectus mulai datang di Sangiran. Mereka telah menciptakan budaya berupa alat serpih dan batu kalsedon.
Selanjutnya pada 900.000 hingga 300.000 tahun yang lalu Sangiran mencapai lingkungan yang paling indah. Manusia purba Homo erectus hidup berdampingan dengan berbagai spesies fauna, seperti gajah purba stegodon, sapi, kerbau, banteng, dan rusa. Badak dan harimau mulai terlihat pada masa ini. Manusia purba sudah sangat canggih menciptakan alat batu berupa serpih dan kapak genggam.
Tengkorak Sangiran 17Â
Di situs Sangiran banyak ditemukan fosil manusia purba. Dari jumlah populasi temuan fosil Homo erectus di seluruh dunia, sekitar separuh di antaranya berasal dari Sangiran dan situs sekitarnya. Kontribusi ini sangat berharga karena Homo erectus memegang peran penting dalam evolusi manusia. Homo erectus berkembang menjadi manusia sejati Homo sapiens seperti kita sekarang.
Di antara banyak temuan purba, fosil tengkorak Homo erectus menjadi koleksi masterpiece.  Fosil ini diberi kode Sangiran 17 atau S17. S17 paling dikenal di seluruh dunia karena kondisi fosil relatif lengkap. Dengan demikian wajah Homo erectus dapat direkonstruksi secara utuh. Usia S17 diperkirakan sekitar 700.000 tahun yang lalu.
Berlari
Apakah manusia purba sudah mampu berlari? Dalam dunia arkeologi, khususnya subdisiplin prasejarah, dikenal salah satu masa yang disebut 'masa berburu dan mengumpulkan makanan'. Nah, untuk berburu mangsa, terutama hewan seperti rusa atau banteng, tentu diperlukan kemampuan berlari. Kalau tidak mampu berlari kencang, tentu mereka tidak memiliki bahan makanan.
Diyakini manusia purba sudah mampu berlari kencang, sebagaimana tulisan pada okezone.com. "Manusia prasejarah memiliki kemampuan fisik yang luar biasa. Tak heran jika manusia prasejarah bisa berlari melebihi kecepatan seorang Usain Bolt, atau berotot melebihi Arnold Schwarzenegger," demikian tulisan pada okezone.com (17/10/2009). Okezone sendiri mengutip dari news.scotsman, berdasarkan pendapat antropolog asal Australia yang juga penulis buku Manthropology: the Science of Inadequate Modern Man, Peter McAllister.
Usain Bolt adalah pelari jarak pendek dari Jamaika yang pernah menjadi juara dunia dan juara Olimpiade. Sementara Arnold Schwarzenegger pada masanya adalah seorang binaragawan yang memiliki otot-otot super, kemudian menjadi aktor Hollywood.
Menurut McAllister, berdasarkan jejak kaki manusia asli benua Australia yang hidup sekitar 20.000 tahun lalu, diketahui kecepatan lari mereka mencapai 37 kph atau 10,28 meter per detik. Sekadar gambaran, pada Olimpiade Beijing 2008, Usain Bolt memiliki kecepatan 42 kph atau 11,67 meter per detik.
Adaptasi untuk berlari
Sebuah tulisan di detik.com (05/09/2023) mengatakan sekitar 7 juta tahun lalu, nenek moyang kita yang mirip kera, meninggalkan pohon untuk mencari makanan di tanah. Semula, gerakan mereka dapat dikatakan tidak efisien. Lambat-laun para hominid awal mulai berevolusi berjalan dengan dua kaki.
Evolusi cara berjalan tersebut memberikan kemudahan untuk melihat apakah ada bahaya di balik rumput yang tinggi. Evolusi itu juga membuat mereka mampu melangkah pada jarak yang dua kali lebih jauh dengan energi yang sama. Berangkat dari situlah nenek moyang kita mengembangkan adaptasi untuk berlari. Demikian dikatakan ahli biologi evolusi manusia di Universitas Harvard Daniel Lieberman, seperti dikutip dari Live Science.
Sebelum ditemukan senjata, seperti panah dan tombak, manusia terus berlari untuk memburu mangsa. Bayangkan, jika manusia purba terus mengikuti buruan mereka berkilo-kilometer, pasti akan terasa lelah.
Manusia purba dan berlari, begitulah gagasan kegiatan SangiRun Night Trail, yang sudah diselenggarakan sejak 2021. Kompetisi lari menelusuri kawasan situs Sangiran tentu menjadi ajang yang sulit dilupakan. SangiRun 2023 akan digelar lebih meriah dengan tujuan menghadirkan banyak pengunjung ke Sangiran. Kerja sama Komunitas Luar Kotak dengan Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan; Direktorat Museum dan Cagar Budaya; dan Direktorat Perfilman, Musik dan Media, tak hanya menggelar Night Trail Run 25k, juga Fun Run 5k. Ditambah konser musik, Karnaval Budaya, Sangiran Fair, Pesta Kuliner, Crafting, dan Festival Cahaya.
Kalau manusia purba mampu berlari mengejar mangsa, kita harapkan teman-teman mampu berlari mengejar prestasi.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H