Dunia numismatik Indonesia masih belum maju. Kita masih ketinggalan dibandingkan beberapa negara Asia, apalagi bila dibandingkan negara-negara Eropa dan AS. Ketinggalan kita jelas semakin jauh.
Mereka sudah mampu menerbitkan katalog uang kertas dan katalog uang logam. Bahkan sudah memiliki lembaga sertifikasi atau grading bertaraf internasional. Balai lelang, termasuk balai lelang daring, mereka pun punya. Karena kepopuleran numismatik di sana, mereka kerap menyelenggarakan pameran sekaligus bursa numismatik secara periodik.
Banyak dan beragam
Kalau mengamati perjalanan sejarah kita, seharusnya kita memiliki koleksi uang yang amat banyak dan beragam. Pada masa prasejarah atau sebelum ada tradisi tulisan, masyarakat sudah mengenal 'uang' yang dibuat dari bahan-bahan sederhana dan tahan lama, seperti batu, kacang-kacangan, biji-bijian, dan tulang hewan.
Pada masa kemudian kita mengenal uang emas dan uang perak yang berasal dari banyak kerajaan di Nusantara. Masa Klasik, demikian para arkeolog, menyebutnya. Masa Klasik ditandai beberapa kerajaan berciri Hindu dan Buddha, seperti Sriwijaya, Mataram Kuno, dan Majapahit.
Pada masa Islam, di Nusantara muncul banyak kerajaan atau kesultanan. Kerajaan Samudera Pasai memiliki uang sendiri. Begitu pula Kesultanan Bone di Sulawesi Selatan. Belum lagi sejumlah kerajaan/kesultanan lain.
Pada masa kita dijajah, yang lazim disebut Masa Kolonial, di Nusantara pernah beredar mata uang Eropa, seperti Belanda dan Inggris. Itu juga memperkaya dunia numismatik kita.
Promosi
Dunia numismatik kita belum semaju banyak negara karena tingkat sosial masyarakat kita belum sebaik negara-negara maju. Masyarakat kita masih berurusan dengan perut, biaya sekolah, biaya kesehatan, dll.
Koleksi mata uang kuno amat beragam. Dalam pandangan awam, harga sebuah koleksi pasti mahal. Namun sesungguhnya, banyak koleksi masih terjangkau kantong masyarakat. Banyak koleksi masih berharga ribuan rupiah, belasan ribu rupiah, hingga puluhan ribu rupiah. Memang ada yang berharga ratusan ribu rupiah hingga jutaan rupiah.
Jadi pilihlah koleksi sesuai kemampuan kantong. Jangan memaksakan diri membeli yang mahal, sementara kita masih perlu dana untuk biaya sekolah atau biaya rumah tangga. Meskipun berharga murah, anggaplah berkoleksi sebagai obat stres.
Belum lama ini saya memperoleh sumbangan koin dari Club Oeang Revoloesi atau CORE. Untuk memperkenalkan dunia numismatik kepada generasi muda. Karena saya sering diundang pada acara-acara museum, saya bagikan koin-koin sumbangan itu secara selektif kepada para pelajar dan anggota pramuka. Sebagai generasi muda yang lahir pada masa 2000-an tentu saja mereka senang. Soalnya koin-koin itu diterbitkan pada 1950-an.
Bukan itu saja, saya juga memberikan koin 1 Cent Nederlandsch-Indie kepada mereka yang mampu menjawab pertanyaan saya. Pertanyaan sih ringan, misalnya pada koin tertera lambang apa, tulisan apa yang ada pada uang, dan wajah presiden siapa yang pernah ada pada mata uang.
Berbagai komentar pun datang dari mereka. Uang 50 Sen dulu cukup beli apa yah? Wah ini koin tahun 1959, lebih tua dari umur orang tua saya.
Beberapa dari mereka ternyata ada yang suka mengumpulkan koin. "Biasanya koin kembalian dari toko swalayan saya kumpulkan pak," kata seorang pramuka.
Semoga dari promosi singkat itu, generasi muda kita semakin menggeluti dunia numismatik.***
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H