Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bongkar Pasang Chattra di Candi Borobudur, Perlu Batas Toleransi Batu Asli dan Batu Baru

2 Agustus 2023   10:31 Diperbarui: 4 Agustus 2023   07:26 972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yasti rekonstruksi: (1) Yasti bawah, (2) Yasti tengah, dan (3) yasti atas (Sumber: Buku 100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur)

Rencana pemasangan chattra (payung bertingkat tiga) pada bagian puncak Candi Borobudur kembali bergulir. Kali ini Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengusulkan pemasangan chattra sebagai upaya penyempurnaan Candi Borobudur. Rencana ini pun mendapat sorotan media.

Usulan untuk mengoptimalkan Candi Borobudur sebagai bagian dari lima Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) melalui pengembangan Kunjungan Wisata Religi Agama Buddha Indonesia dan Dunia ini disetujui Menko Maritim dan Investasi, Luhut. B. Panjaitan, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahudin Uno, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Usulan ini dibahas bersama dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengembangan Lima DPSP pada 21 Juli 2023.

Hasil rekonstruksi yasti bagian atas 1990 (Sumber: Buku 100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur)
Hasil rekonstruksi yasti bagian atas 1990 (Sumber: Buku 100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur)

Th. van Erp

Masalah chattra mulai mencuat pada 1907-1911 ketika Th. van Erp memimpin proses pemugaran Candi Borobudur. Ketika itu, van Erp menemukan kepingan-kepingan batu yang kemudian direkonstruksi menjadi sebuah chattra. Van Erp menduga chattra pernah terpasang megah di puncak stupa utama Borobudur.

Menurut Prof. Mundardjito dalam buku 100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur (Trilogi 1, 2013, hal. 18), yasti yang direkonstruksi van Erp dibagi tiga, yakni bagian bawah, tengah, dan atas. Yasti bagian atas kini terpasang di stupa induk. Karena hanya ditemukan dua baris, yasti bagian tengah sekarang disimpan di Museum Karmawibhangga. Begitu pun yasti bagian atas yang telah direkonstruksi sebagian pada 1990.

Perlu diketahui, secara arsitektural stupa terdiri atas tiga bagian, yakni anda (bagian dasar yang berbentuk membulat), yasti (bagian tengah yang berbentuk seperti tiang), dan chattra.

Van Erp menyadari sepenuhnya bahwa yasti bagian tengah dan atas itu terlalu banyak menggunakan batu baru. Karena itu tidak tepat dipasang di stupa induk Candi Borobudur.

"Meskipun van Erp telah menggunakan analogi dengan bentuk yasti berpayung sebagaimana dipahatkan pada bidang relief Candi Borobudur, namun van Erp merasa tidak sesuai dengan temuan yang ada," begitu tulis Mundardjito.

Metode analogi singkatnya demikian, "Kalau sekarang bentuknya begini maka tentunya dulu juga demikian". Metode analogi dikembangkan oleh L. Binford pada 1960-an sebagai Arkeologi Baru. Tentu saja kala itu van Erp belum mengenal metode ini. Entah berapa banyak stupa ber-chattra yang bisa menjadi rujukan. Mungkin agak sulit karena bentuknya beragam, tergantung dari maksud dan tujuan didirikannya stupa, budaya lokal, keterampilan perajin, dan keyakinan masyarakat setempat.

Saat pertama kali ditemukan memang Candi Borobudur dalam kondisi berantakan. Lihat saja kondisi stupa induk masih menganga. Soal stupa induk pun pernah menjadi pro-kontra, apakah berongga atau padat. Ditambah lagi adanya arca yang belum selesai. Ada yang bilang seharusnya di dalam stupa induk.

Foto van Erp yang menggambarkan pecahan fragmen yasti (Sumber: Buku 100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur)
Foto van Erp yang menggambarkan pecahan fragmen yasti (Sumber: Buku 100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur)

Polemik 

Sebenarnya usul pemasangan chattra sudah dilakukan sejak lama. Pada 2018 ada kegiatan FGD (Focus Group Discussion) di Magelang. Waktu itu hadir arkeolog senior, ahli pemugaran, dan sebagainya. Kesimpulannya, chattra tidak layak dipasang karena pertimbangan-pertimbangan arkeologis.

Menanggapi hal ini, ada tulisan menarik dari Praviravara Jayawardhana pada Kompasiana, 26 Maret 2021. Tulisannya berjudul "Memahami Chattra Borobubur dan Melerai Sebuah Polemik". Menurutnya, pusaran polemik tersebut selalu berputar di disiplin arkeologi saja tanpa mempertimbangkan disiplin ilmu keagamaan. Yang beliau maksud adalah filosofi dalam Buddha, yang sebenarnya justru menjadi pondasi dibangunnya situs tersebut pada awalnya. (Baca selengkapnya di sini)

Chattra memiliki catatan sejarah dan dasar filosofi yang sangat mendalam di dalam Buddhisme. Pemaknaan chattra dalam filosofi Buddhisme dapat dirangkum menjadi tiga, yakni sebuah objek persembahan surgawi, sebagai pelindung, dan sebagai penanda anggota keluarga kerajaan.

Yasti rekonstruksi: (1) Yasti bawah, (2) Yasti tengah, dan (3) yasti atas (Sumber: Buku 100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur)
Yasti rekonstruksi: (1) Yasti bawah, (2) Yasti tengah, dan (3) yasti atas (Sumber: Buku 100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur)

"Sebuah fakta bahwa batu-batu serpihan chattra telah ditemukan oleh van Erp di dalam lokasi Candi Borobudur. Oleh karena itu, tanpa perlu mengerdilkan disiplin ilmu arkeologi, namun cukup dengan memberikan sedikit ruang interpretasi bagi disiplin ilmu Buddhisme, maka kita seyogyanya bisa mengambil sebuah keberanian untuk melerai polemik berkepanjangan seputar chattra Candi Borobudur dan merekonstruksi pemasangan chattra ini di puncak stupa utama Candi Borobudur. Dengan demikian, umat Buddha secara khususnya dan bangsa Indonesia secara umumnya, sebagai pemilik sah Candi Borobudur, pun akhirnya dapat menikmati sebuah rasa puas karena akhirnya Sang Candi berhasil mencapai status paripurna yang sempurna," begitu tulis Praviravara.

Saya membaca berbagai pendapat dilontarkan di media sosial atas pernyataan Menag baru-baru ini. Tanpa dipasang chattra pun, Borobudur sudah dikenal dunia. Komentar lain, sebaiknya sih biarkan apa adanya, jangan sampai ranah politik masuk ke dunia warisan bangsa.

Jumat pagi, 4 Agustus 2023, saya membaca komentar menarik dari Nurhadi Magetsari, pensiunan Guru Besar Arkeologi UI. "Persoalan sebenarnya bukan boleh atau tidak hasil rekonstruksi van Erp itu dipasang tapi apakah chattra itu asli dalam arti batu asli yang dipakai itu terwakili atau tidak," katanya. Beliau menambahkan, menurut hemat saya perlu dipertajam kaidah yang diterapkan guna menentukan keabsahan hasil pemugaran. 

Tentu saja sekarang kita perlu memberi batasan batu-batu asli dan batu-batu baru yang boleh dipakai untuk pemugaran. Adanya batas toleransi tentu penting diketahui masyarakat.

Semoga masalah chattra bisa terselesaikan dengan baik sehingga disiplin arkeologi semakin berkembang dan dicintai masyarakat. Jadi tidak ada lagi bongkar pasang chattra di Candi Borobudur.

Begitulah dunia arkeologi yang begitu ragam, apalagi bersinggungan dengan masyarakat. Ada yang melakukan penggalian atau penyelaman liar untuk mencari harta karun, ada yang mencuri di sana-sini, ada yang merobohkan bangunan kuno, dan masih banyak lagi kelakuan orang tidak bertanggung jawab.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun