Salah satu hobi yang cukup mendapat perhatian adalah berkoleksi mata uang. Dulu, memperoleh koleksi cukup sulit. Kita harus mendatangi penjual mata uang di pusat pertokoan, tukang loak yang mangkal di tempat tertentu, dan penjual barang antik.
Namun kini mencari koleksi mata uang cukup mudah. Kita bisa memulainya lewat mesin pencari dengan menyebutkan koleksi yang kita mau. Setelah itu muncul berbagai lapak. Tentu saja harga bersaing, kita bisa memilih koleksi dengan harga yang paling murah.
Di marketplace banyak pula tawaran dari masyarakat awam yang tidak paham uang kuno. Mereka sering termakan hoaks. Akibatnya mereka memasang harga ratusan ribu, padahal harga normalnya paling sekitar Rp 5.000.
Selain di marketplace, banyak koleksi dijual lewat media sosial, utamanya Facebook. Di sini banyak pedagang kelas sultan dan kelas buruh. Pedagang kelas sultan menawarkan dagangannya yang berharga ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Mereka menjual langsung atau lelang.
Harga yang mahal biasanya untuk koleksi yang sudah diberi grading oleh lembaga internasional. Koleksi yang sudah di-grading, diberi label angka tertentu oleh NGC atau PCGS (untuk uang logam atau koin). Untuk uang kertas labelnya PMG.
Pedagang kelas buruh juga banyak di media sosial. Harga yang dipasang relatif murah, baik jual eceran maupun jual borongan. Maklum, koleksi yang mereka tawarkan masih banyak dijumpai di pasaran. Lain halnya dengan koleksi sultan yang langka. Karena itu berharga mahal.
Sekadar gambaran, banyak koleksi kelas buruh berharga ribuan hingga puluhan ribu rupiah sekeping atau selembar. Itu pun dalam kondisi bagus. Saya pernah membeli koin 1 cent bolong keluaran 1945 secara borongan atau mengikuti lelang sebanyak 40 keping seharga Rp 100.000. Berarti rata-rata Rp 2.500 sekeping.
Dari 40 keping itu, separuhnya dalam kondisi lustre. Separuhnya lagi semi-lustre. Namun lumayan terjangkaulah.
Di lain waktu saya pernah membeli 30 koin 1 cent bolong seharga Rp 30.000. Berarti rata-rata Rp 1.000 sekeping. Namun harga demikian untuk koleksi yang sudah dicuci. Â Jadi jauh lebih murah daripada kondisi lustre.
Beda lustre dengan dicuciÂ
Sebagai kolektor tentu saja kita ingin memiliki koleksi terbaik. Dalam arti koleksi yang bagus, bukan yang aus, kotor, atau sobek. Untuk itu kita harus memahami istilah dalam numismatik, yakni lustre (untuk uang logam) dan Unc (untuk uang kertas).
Kondisi lustre menunjukkan koleksi itu masih asli, belum pernah dipakai bertransaksi, dan belum pernah mendapat penanganan oleh manusia seperti dicuci. Lustre original, begitu kalau pedagang numismatik menawarkan.
Unc merupakan singkatan dari Uncirculated. Uang kertas ini pun belum pernah dipakai bertransaksi.
Nah, saya ingin memberi pemahaman tentang koleksi yang dicuci seperti milik saya itu. Kolektor mudah mengidentifikasi mana koleksi lustre dan mana koleksi yang sudah dicuci.
Koleksi yang sudah dicuci terlihat terang. Namun lapisan yang ada pada koin, hilang tergosok. Biasanya pedagang mencuci koin itu dengan cairan kimia, seperti aki atau pembersih keramik. Sikat kawat halus digunakan untuk menggosok koleksi.
Untuk jangka pendek, koleksi itu terlihat kinclong. Namun untuk beberapa tahun ke depan, pasti ada kerusakan pada koin itu.
Pada 1980-an, misalnya, saya pernah membeli koin perak. Sebagai pemula, saya cukup senang mendapatkan koleksi kinclong dengan harga murah. Namun pada 1990-an saya lihat ada bintik coklat pada koleksi yang satu. Bintik hijau terdapat pada koleksi lain. Saya menduga mereka mencucinya dengan cairan berbeda.
Untuk mengetahui kondisi lustre, semi-lustre, dan dicuci bisa lihat foto di atas. Jelas sekali ada perbedaan. Lain halnya dengan koleksi yang kotor, yang juga terdapat pada tulisan ini.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI