Masih saja media daring membuat judul tulisan dan foto yang bombastis atau sensasional. Tentu saja media daring yang bukan media arus utama. Ironisnya, masyarakat percaya kepada tulisan bombastis itu.
Baru saja saya melihat tulisan di media daring tentang koin Rp 25 seharga sepeda motor. Sungguh keterlaluan hoaksnya. Rupanya si penulis merujuk pada tayangan di YouTube. Disayangkan, ybs asal kutip. Seharusnya ia mengerti soal koleksi atau numismatik.
Inilah kondisi di era digital. Menulis dan menayangkan konten tanpa ada suntingan. Tujuannya cuma satu, mengejar klik atau pageview sehingga mendatangkan duit. Padahal isinya tidak mencerdaskan masyarakat atau bersifat pembohongan publik.
Akibatnya masyarakat memposting koin-koin yang dianggap mahal ke media sosial atau marketplace. Harga yang ditawarkan tidak tanggung-tanggung, ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Tentu saja harga setinggi itu menjadi bahan olok-olok atau bully warganet yang paham akan koleksi itu.
Saya lihat di marketplace harga koin Rp 25 itu cuma beberapa ribu per keping. Tentu saja akun itu milik pedagang uang lama.Â
Ada juga yang berharga Rp 1000 sekeping. Nah perlu diketahui, pedagang membeli koin-koin lama itu secara kiloan atau borongan. Koin-koin itu masih kotor. Agar bersih, pedagang mencuci koin-koin itu dengan cairan kimia. Memang untuk sementara waktu, koin itu terlihat bersih. Namun untuk beberapa tahun ke depan, pasti akan timbul noda kecoklatan, kehijauan, dsb tergantung cairan kimia yang dipakai.
Koin yang berharga lebih mahal, berada dalam grade atau kondisi lustre atau luster. Pedagang atau kolektor biasanya memberi istilah kinclong. Kondisi lustre berarti belum pernah dipakai bertransaksi dan belum pernah dicuci. Masih mulus dan masih ada kilau. Koin yang baru dibuka dari roll atau gulungan termasuk kondisi lustre.
Para kolektor tentu saja mencari koleksi dalam kondisi terbaik. Kecuali koleksi jenis tertentu yang termasuk langka. Kondisi seadanya pun tetap dikoleksi.