Makin 'geregetan' saja dengan media 'masa kini' yang menulis tentang uang lama. Judulnya begitu fantastis, sehingga berpengaruh besar terhadap masyarakat awam. Masyarakat awam pun langsung percaya pada berita tersebut. Mereka  rupanya hanya membaca judul.
'Wartawan' media tersebut seakan makin hebat karena tulisannya banyak diklik. Inilah media masa kini yang tanpa suntingan, cepat tersaji, berpengaruh kepada banyak orang yang tidak mengerti, namun isinya tidak mencerdaskan.
Saya sendiri sudah berkali-kali menulis tentang informasi numismatik yang positif. Entah mengapa masyarakat awam lebih percaya kepada media abal-abal yang penulisnya tidak mengerti numismatik.
Menurut pengamatan saya sejak lama, ada beberapa media yang menurunkan tulisan numismatik hanya mengejar klik atau pageviews. Karena masyarakat awam percaya, jadilah grup jual beli di media sosial dan bahkan marketplace, dipenuhi postingan 'sampah'.
"Dijual koin kuno, harga tertinggi angkut," kata yang satu. "Tawar aja, siapa tahu cocok," kata yang lain. Di marketplace, mereka memasang harga puluhan ribu hingga ratusan ribu sekeping.
Bukan hanya itu. Koleksi yang mereka tampilkan kotor, bernoda, bahkan berwarna kehitaman. Kondisi yang tidak bakal dilirik kolektor. Apalagi 'uang kuno' tersebut masih berusia muda dan masih banyak terdapat di pasaran.
Uang jajan
Koin yang dimaksud bernominal Rp 25 (emisi 1971), Rp 50 (emisi 1971), dan Rp 100 (emisi 1978). Dulu saya pernah mendapat uang jajan dengan koin-koin itu. Lumayan besar ketika itu. Kalau dihitung, koin itu berumur 45 tahun (termuda) dan 52 tahun (tertua).
Buat generasi yang lahir pada masa 2000-an, tentu koin-koin itu terasa istimewa. Maka istilah 'uang kuno' begitu lekat dengan mereka. Tentu beda halnya dengan saya yang pernah merasakan langsung koin-koin tersebut.
Sebagai kolektor saya memiliki puluhan keping ketiga jenis koin tersebut. Ada yang bekas dipakai bertransaksi sehingga memiliki kondisi kurang bagus. Ada yang belum pernah dipakai bertransaksi sehingga sangat mulus. Dalam istilah numismatik disebut lustre.
Lihat saja perbandingan koin Rp 50 pada foto. Bagian atas koin bekas pakai, sedangkan bagian bawah belum pernah dipakai bertransaksi. Koleksi yang masih mulus itu saya beri 'coin holder' agar enak dipandang. Kalau saja berharga mahal saya bisa banyak uang nih, hehehe...
Di pasaran, ketiga koin masih mudah ditemui, baik dalam kondisi bekas maupun baru. Untuk kondisi baru kisaran harga Rp 2.000-an sekeping. Bayangkan, kondisi masih mulus namun berharga murah.
Sementara ini kondisi bekas pakai boleh dikesampingkan dulu. Untuk kolektor pemula, cari saja koleksi yang mulus atau lustre. Masih mudah ditemui di toko-toko numismatik. Juga di marketplace. Kalau berharga ribuan masih wajar. Namun kalau puluhan ribu sampai ratusan ribu sekeping, berarti penjual tidak mengerti numismatik.
Sekali lagi, saya harap masyarakat tidak langsung percaya pada tulisan di media daring. Memang ada yang wajar dan benar. Namun banyak yang tidak informatif dan tidak edukatif. Bertanyalah pada numismatis atau kolektor yang banyak memiliki grup di media sosial.Â
Pesan saya, kalau diberi pemahaman jangan ngeyel. Para kolektor selalu siap membantu. Ini karena tulisan tentang 'uang kuno' di media daring termasuk media sosial sering menyesatkan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H