Dulu kedatangan Pak Pos pengantar surat amat ditunggu-tunggu para remaja. Apalagi kalau mengharapkan balasan "surat cintrong".
Dari surat-surat itu kita akan mendapatkan selembar atau lebih prangko. Prangko adalah label atau carik yang ditempel di atas kertas. Nilai prangko ada beberapa macam. Pembubuhan prangko tergantung pada besarnya biaya kirim ke kota tertentu.
Selain prangko tempel, ada prangko cap. Biasanya prangko cap digunakan oleh instansi tertentu untuk mempersingkat pekerjaan menempelkan prangko, terutama kalau berjumlah banyak.
Bentuk dan ukuran prangko pun ada beberapa macam. Tentunya termasuk gambar pada prangko itu. Karena berbagai bentuk, ukuran, gambar, dan nilai nominal, maka kemudian prangko-prangko itu dikoleksi. Kolektor prangko disebut filatelis.
Prangko sendiri ada dua jenis. Prangko yang belum pernah digunakan disebut mint. Sedangkan yang pernah digunakan, terlihat dari adanya stempel, disebut used. Ada filatelis yang mengumpulkan prangko saja. Ada juga yang mengoleksi prangko beserta amplop.
Internet dan ponsel
Kegiatan surat-menyurat pernah berjaya pada masa 1970-an hingga 1980-an. Bersahabat pena menjadi kegiatan positif para remaja. Termasuk tukar-menukar prangko. Sering kali para remaja berkorespondensi dengan sahabat dari mancanegara.
Sayang, sejak adanya internet dan telepon seluler (ponsel), kegiatan surat-menyurat semakin menurun. Ini karena lewat internet, kita bisa menerima dan mengirim surat elektronik (email) secara cepat. Boleh dibilang, begitu dikirim tak lama kemudian akan diterima.
Di luar email, ada SMS dan semakin berkembang dengan adanya media sosial. Di situlah masyarakat tidak membutuhkan prangko lagi.
Keberadaan prangko semakin hilang, ketika muncul perusahaan-perusahaan logistik atau kurir. Masyarakat lebih suka mengirim dokumen atau barang lewat perusahaan jasa kurir. Jumlah kantor pos pun semakin berkurang.