Menurut saya, itulah 'kecongkakan' Indonesia, tidak mau diajak gabung oleh Malaysia. Bahkan berpikir, sebelum dicaplok Malaysia, kita daftarkan kebaya sebagai single nomination. Sebenarnya masalahnya bukan pemilik tunggal kebaya, namun bagaimana kita bersama-sama bisa melestarikan kebaya.
Jalan panjang
Mungkin banyak orang belum tahu kalau tata cara pengajuan ke UNESCO berjalan amat panjang. Diawali pengajuan oleh komunitas atau masyarakat ke pemerintah daerah. Setelah digodok, diajukan ke pemerintah pusat. Selanjutnya pusat mengkaji, mengundang narasumber, memverifikasi, hingga diskusi dan rapat tim penilai.
Semula UNESCO mengizinkan setiap negara mengajukan kebudayaan mereka tanpa batasan per tahunnya. Â Namun kebutuhan dana untuk mengajukan WBTb menjadi kendala bagi negara tertentu dalam mengirim hasil budaya untuk jadi daftar warisan dunia. Dana tersebut dibutuhkan untuk riset dan kajian yang dapat memakan waktu bertahun-tahun, belum termasuk membuat serentetan dokumen penguat.
Kemudian, UNESCO memutuskan setiap negara hanya dapat mengajukan setiap dua tahun untuk single nomination. Namun bila diajukan secara multinasional atau share nomination dapat dilakukan setiap tahun.
Pengusulan share nomination justru lebih diperhatikan oleh UNESCO. Peluangnya juga besar. Namun dalam pengerjaan, komunikasi, share data, rapat, pembuatan dossier, dll luar biasa menguras tenaga dan pikiran. Begitulah pengalaman teman-teman di Direktorat WDB.
Terakhir gamelan diakui UNESCO pada 2021. Kemungkinan pada 2023 jamu mendapat perhatian UNESCO. Belum lagi tempe, tenun, dan reog. Baru pada 2029 kita bisa mengajukan kebaya dan hasilnya mungkin baru 2 tahun kemudian.
Untuk multinasional atau share nomination, pada 2020 pantun dari Indonesia dan Malaysia diakui UNESCO. Tumben Indonesia-Malaysia kompak yah. Entah untuk ke berapa kali Indonesia kalah nih.
Jalan panjang dan jalan masih panjang buat kebaya dan tentu saja WBTb lain. Bagaimana pun, yang penting kita harus tetap melestarikan kekayaan budaya yang ada di Nusantara, baik yang sudah diakui atau belum diakui UNESCO. Toh itu semua warisan dari nenek moyang kita.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H