Bisa dikatakan setiap orang bisa membaca dan menulis. Menulis di Facebook atau Twitter tentu sudah sering kita lakukan. Saling memberikan komentar atau cuitan sudahlah pasti.
Menulis sendiri memiliki berbagai cakupan. Ada yang bersifat fiksi dan nonfiksi. Ada yang bersifat ilmiah, ilmiah populer, dan populer. Lebih khusus menulis artikel, menulis buku, menulis skenario, menulis cerpen/novel, dan masih banyak lagi.
Di sini yang dimaksud menulis tentu bukanlah sekadar menulis status atau saling berkomentar di media sosial. Menulis yang dimaksud adalah seni merangkai kata-kata supaya enak dibaca, mudah dimengerti, dan bermanfaat buat pembaca. Â
Bukan cuma itu, tulisan harus bersifat informatif dan edukatif. Juga tidak mengandung hoaks, konten positif istilahnya. Yang saya maksud adalah menulis populer, macam di media cetak dan media daring terpercaya. Kompas dan beberapa kelompoknya, Tempo dan beberapa kelompoknya, dan Detik dan beberapa kelompoknya, menjadi contoh media terpercaya.
Sebaliknya banyak kita temui media abal-abal. Ada yang menyebarkan berita hoaks. Ada yang berinduk pada suatu organisasi.
Hobi dan profesi
Menulis sering kali menjadi hobi segelintir orang. Tidak peduli ada honorarium atau tidak ada honorarium, yang penting menulis. Menulis pun menjadi 'iseng-iseng berhadiah'.Â
Umumnya dilakukan para peneliti atau dosen. Kalau kita lihat di media cetak, peneliti dan dosen mendominasi sekali. Mereka mendapat honorarium sekaligus angka kredit sebagai pertimbangan untuk kenaikan pangkat.Â
Tulisan mereka tentu sesuai kompetensi masing-masing. Jadi bagi mereka menulis adalah pekerjaan selingan. Selain mendapat gaji atau uang pensiun, mereka mendapat honorarium. Besar kecilnya honorarium tergantung media mana yang menampilkan tulisan mereka.
Di sini saya hanya membicarakan menulis populer di media cetak dan media daring sesuai pengalaman saya. Â Dulu menulis di media cetak menjadi semacam 'tambang emas' buat saya. Saya menulis di beberapa media cetak Jakarta. Honorariumnya cukup beragam dari 200 ribu hingga 1 juta, bahkan lebih.
Dengan demikian profesi menulis cukup memberi harapan. Tulisan di media cetak tidak begitu panjang. Tulisan saya panjangnya 300 kata hingga 1.000 kata. Â
Makin sering menulis, makin banyak mendapatkan gagasan. Itulah dampak dari menulis. Popularitas saya juga bertambah karena nama saya dikenal luas. Tentu sebuah kebanggaan tersendiri.Â
Dampak positif lain saya sering diminta bantuan untuk menulis panel pameran, menulis artikel/buku untuk instansi pemerintah, dan memberi pelatihan menulis untuk siswa sekolah menengah. Bahkan menjadi penyunting buletin dan buku. Saya pun pernah mengisi rubrik di sebuah koran ibu kota selama beberapa tahun.
Terdesak internet
Sejak internet 'menguasai dunia', aktivitas saya menulis di media cetak makin menurun. Ini karena beberapa media cetak sekarat bahkan mati terdesak internet. Menulis yang tadinya 'tambang emas' berubah menjadi 'tambang perunggu'. Penghasilan pun semakin menurun. Namun aktivitas menulis tetap saya lakukan. Yang penting bisa berbagi kepada publik, terutama lewat blog pribadi.
Tulisan-tulisan saya umumnya tentang sepurmudaya (sejarah, purbakala, museum, budaya). Sebagian kecil lagi tentang numismatik, filateli, dan astrologi. Jadi termasuk tulisan jarang diminati. Paling-paling kalangan tertentu yang mencari tulisan saya, seperti kalangan arkeologi dan pemerhati sejarah/budaya.
Kalau ada pertanyaan cukupkah honorarium dari menulis artikel untuk biaya hidup atau mampukah orang hidup hanya dari menulis? Terus terang, untuk saya relatif cukup. Ini karena isteri dan kedua anak saya mencari nafkah sendiri. Tentu amat berbeda jika dalam satu keluarga, hanya seorang yang mencari penghasilan lewat menulis. Tidak bakalan cukup.
Sekadar gambaran, honorarium menulis di koran Kompas 800 ribu dan di kompas.id 400 ribu. Sementara menulis di Kompasiana tergantung jumlah pageviews selama bulan berjalan.Â
Nah, ini untuk lebih dari 1 tulisan. Beruntung kalau tulisan kita termasuk viral. Bulan lalu ada tulisan saya di Kompasiana yang diakses 30.000-an orang. Ditambah beberapa tulisan lain, saya memperoleh K-rewards sebesar 400 ribuan. Ini cukup tinggi karena sebelumnya hanya 100 ribuan, bahkan pernah tidak dapat karena jumlah pengakses tidak memenuhi syarat minimal.
Oh ya, kalau tulisan kita di Kompasiana lalu dimuat lagi di kompas.com, kita akan mendapat rewards tambahan. Tulisan saya pernah beberapa kali 'diambil' kompas.com.
Terus terang, menulis tidak membosankan. Jadinya saya sering membaca buku. Nah, inilah yang penting. Menulis dan membaca menjadi terapi kesehatan, terlebih obat pikun. Lebih bahagia kalau tulisan kita mendapat sambutan atau reaksi dari pihak tertentu.
Menulis di Kompasiana sendiri cukup membawa dampak positif bagi saya. Saya pernah mendapat hadiah jurnalistik M.H. Thamrin pada 2017. Ketika itu jurnalistik warga mendapat perhatian.Â
Sejak beberapa tahun lalu tampaknya jurnalistik warga tidak mendapat porsi lagi. Berkat Kompasiana, saya pun pernah menang kompetisi blog dan mendapat undangan sebagai narasumber.
Menulis adalah pekerjaan seumur hidup. Karena itu saya masih tetap setia menulis, meskipun profesi penulis belum mendapat perhatian.***
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H