Selanjutnya Pak Andreas memberi gambaran adanya grup komedi Warkop DKI, yang terdiri atas Dono, Kasino, dan Indro. Mereka memilih nama Warkop atau Warung Kopi karena menjadi ciri khas Medan. Artinya kira-kira 'ayo nikmati hidup dan santai'. Pada masa-masa itu minum kopi belum menjadi tradisi yang mengakar.
Barulah kemudian kopi diterima sebagai bagian dari gaya hidup. Segala urusan pekerjaan atau bisnis berhubungan dengan warung kopi bukan hotel atau kantor.
Ibu Ervina memberi gambaran setiap presiden Indonesia memiliki kesukaan kopi yang berbeda. Pada masa Presiden Suharto, istana memiliki toko langganan kopi di Cikini. Ketika itu kopi masih digiling dengan alat tradisional sehingga aromanya sangat harum.
Pada masa Presiden B.J. Habibie, menurut Ibu Ervina, pola ngopi masih disamakan. Beda pada masa Gus Dur karena beliau suka kopi tubruk.
Megawati juga memiliki kesukaan lain, kopi susu. Sementara Pak SBY memilih kopi plus krimer. Nah, kata Ibu Ervina, Pak Jokowi tidak selalu suka kopi. Tapi beliau selalu mempromosikan kopi kepada para tamu, misalnya kopi Bali, kopi Flores, dan kopi Gayo.
Kafe
Sepengetahuan Ibu Tuti, kopi dengan merk tertentu hasil pabrik mulai dikenal pada 1998. Mulai 2003 mulai muncul coffee shop. Saat itu kopi dikenal di kafe. Kopi Indonesia banyak dijual di tempat itu, tentu sesuai selera si penikmat kopi. Dari situ masyarakat paham adanya kopi Toraja, kopi Flores, kopi Aceh, kopi Papua, kopi Bali, kopi Lampung, dsb. Â
Di luar kafe, masyarakat mengenal kopi kiloan. Bahkan kopi dalam bentuk sachet, dilengkapi gula, susu, atau krimer. Masyarakat tinggal seduh untuk segelas kopi. Lambat laun muncul kopi susu kekinian dengan gula aren.
Kalo gak ngopi gak gaul, begitu kata Adila. Bahkan kata Adila, ada filosofi kehidupan pada kopi dan gula, yang diwakili rasa pahit dan manis.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H