Saya termasuk orang yang beruntung dalam hal berkuliah. Apalagi diterima di perguruan tinggi negeri. Pada 1979 saya masuk Universitas Indonesia (UI) setelah lolos ujian tulis Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru).
Dikatakan beruntung karena mampu mengalahkan ratusan saingan. Keberuntungan lain, biaya kuliah di UI termasuk murah. Maklum semua perguruan tinggi negeri mendapat subsidi dari pemerintah.
Waktu itu UI termasuk perguruan tinggi favorit. Tentu saja bersama sejumlah perguruan tinggi lain seperti Universitas Gadjah Mada, Institut Pertanian Bogor, dan Institut Teknologi Bandung. Seingat saya ada dua golongan biaya kuliah atau SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan), yakni kategori IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial).
Saya diterima di Jurusan Arkeologi UI yang tentu saja masuk kategori IPS. Pada tahun pertama saya harus membayar biaya SPP sebesar Rp60.000/tahun. Sementara untuk kategori IPA, seperti Fakultas Kedokteran dan Fakultas Teknik membayar SPP sebesar Rp75.000/tahun.
Pada tahun kedua biaya SPP saya turun menjadi Rp30.000/tahun atau Rp15.000 per semester. Dengan kata lain Rp2.500 per bulan. Untuk ukuran sekarang tentu murah bingit. Pada tahun-tahun sekitar itu, saya ingat harga semangkok bakso Rp500. Jadi biaya SPP sebulan setara dengan lima mangkok bakso.
Bea siswa
Bukan cuma biaya SPP murah. Pada saat itu banyak instansi/lembaga menggelontorkan bea siswa. Karena nilai semester I dan II saya lumayan bagus, ketua jurusan menawarkan sejumlah bea siswa kepada saya. Akhirnya saya mendapat bea siswa Pelita sebesar Rp12.500 per bulan. Namun karena waktu itu banyak 'permainan' orang dalam, maka bea siswa diberikan untuk delapan bulan sekaligus. Istilahnya dirapel. Bukan main senangnya para mahasiswa mendapat uang panas sebesar Rp100.000. Barulah pada bulan ke-9 hingga ke-12 diberikan saban bulan.
Ternyata, banyak mahasiswa menghambur-hamburkan uang tersebut. Ada yang membeli celana jeans. Bahkan barang-barang di luar kebutuhan perkuliahan.
Saya memanfaatkan bea siswa tersebut untuk membeli mesin tik Rp40.000. Sisanya untuk membeli buku. Waktu itu harga buku per eksemplar hanya ratusan rupiah. Paling mahal Rp5.000. Tidak heran buku-buku saya seabreg-abreg jumlahnya.
Dari buku-buku itulah saya belajar menulis artikel. Dulu banyak koran dan majalah bertebaran di Jakarta. Karena saya sering pergi mengunjungi situs-situs arkeologi, maka cukup mudahlah menulis artikel. Dari tulisan-tulisan itu saya mendapat honorarium lumayan, dari Rp10.000 hingga Rp20.000 per artikel.
Mahal
Sebenarnya waktu itu saya lolos juga di perguruan tinggi swasta. Namun karena biaya kuliahnya sekitar Rp800.000 mundurlah saya. Bandingkan saja Rp800.000 di swasta dengan Rp60.000 di negeri. Terlampau jauh kan.