Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menulis Populer untuk Memberi Pemahaman Arkeologi kepada Masyarakat

8 Juli 2022   06:54 Diperbarui: 8 Juli 2022   06:57 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tulisan saya di kompas.com (Sumber: tangkapan layar kompas.com)

Berhari-hari berita tentang Candi Borobudur masih saja muncul di media cetak, media daring, dan media elektronik, termasuk di media sosial. Daya jual Candi Borobudur memang besar. Wartawan mewawancarai banyak pihak, seperti arkeolog, pelaku usaha, birokrat, tokoh agama Buddha, sampai pengamat sejarah.  Masyarakat pun ikut menuliskan opini, termasuk di blog publik dan blog pribadi.

Inilah tinggalan arkeologi yang paling banyak memperoleh porsi berita. Dulu, berita tentang bahaya keruntuhan dan pemugaran muncul selama berhari-hari. Begitu juga ketika Candi Borobudur diledakkan oknum tak bertanggung jawab pada awal 1985. Tanggapan, simpati, dan usulan muncul dari mana-mana.

Candi Borobudur layak jual dan layak tulis karena dipandang merupakan tinggalan arkeologi 'fantastis'. Namanya sudah tenar ke seluruh dunia karena menjadi salah satu dari tujuh 'keajaiban dunia'. Apalagi pernah dikokohkan UNESCO sebagai warisan dunia.

Sesungguhnya tinggalan arkeologi amat sangat banyak. Apalagi arkeologi berjalan dalam rentang waktu amat panjang. Ini bisa dilihat dari pembabakan dalam arkeologi, yang berawal pada Masa Prasejarah. Masa Prasejarah adalah masa yang paling panjang, berlangsung selama ribuan tahun. Masa Prasejarah berkenaan dengan kebudayaan manusia purba, seperti fosil, alat rumah tangga, dan lukisan gua (gambar cadas).

Masa Prasejarah berakhir setelah ditemukannya sumber tertulis pada yupa di Kalimantan Timur. Mulailah kita memasuki Masa Klasik atau Masa Hindu-Buddha. Berbagai tinggalan bercirikan kedua agama itu, seperti prasasti, candi, keramik, koin, alat rumah tangga, alat pemujaan, dan senjata. Masa Hindu-Buddha memiliki pertanggalan abad ke-5 hingga ke-15 Masehi.

Dua masa berikutnya adalah Masa Islam dan Masa Kolonial. Masa Islam berlangsung abad ke-15 hingga ke-18 dan Masa Kolonial abad ke-18 hingga awal abad ke-20. Tinggalan arkeologi dari kedua masa antara lain makam, masjid, keraton, dan bangunan pemerintahan. Sebagian Masa Islam bersinggungan dengan Masa Kolonial. Itulah kesinambungan empat masa dalam arkeologi.

Tulisan saya di kompas.com (Sumber: tangkapan layar kompas.com)
Tulisan saya di kompas.com (Sumber: tangkapan layar kompas.com)

Orang menggigit anjing

Anjing menggigit orang bukanlah berita. Namun kalau orang menggigit anjing, itulah berita. Demikianlah prinsip dalam jurnalistik. Media sendiri memiliki berbagai rubrik, seperti Nusantara, Daerah, Humaniora, Hukum, Pariwisata, dan Gaya Hidup. Namun jarang sekali topik arkeologi mendapat porsi besar dalam rubrik yang tersedia. Boleh dibilang hanya 'numpang lewat' sebanyak satu sampai dua paragraf.

Terus terang, ini kesalahan persepsi dari media. Media menganggap arkeologi berkenaan dengan hal-hal fantastik, unik, dan langka. Penemuan arkeologi haruslah yang luar biasa. Pada 1980-an pernah ada temuan fantastik berupa perhiasan emas dari Klaten. Berhari-hari berita tentang temuan tersebut muncul di berbagai media. Temuan Klaten ini bisa dilihat di Museum Nasional Jakarta.

Media pernah tertarik dengan hasil jarahan sindikat internasional dari perairan Riau pada 1980-an. Hasil jarahan dari dalam laut itu dijual di mancanegara dengan hasil jutaan dollar. Pihak kita tidak kebagian apa-apa. Malah kita kehilangan seorang arkeolog ketika tengah menginvestigasi perbuatan pidana itu.

Sepanjang sejarah arkeologi di Nusantara, kita jarang sekali menemukan tinggalan-tinggalan yang fantastik. Bolehlah kita menggunakan teori ini dan teori itu, namun ekskavasi yang menggunakan metode itu, belum pernah memperoleh tinggalan yang fantastik. Penemuan yang fantastik biasanya berasal dari penemuan tidak disengaja yang kemudian diekskavasi oleh para arkeolog.

Dalam ekskavasi, para arkeolog sering menemukan pecahan keramik, pecahan gerabah, koin yang berkarat, dan benda-benda lain yang tidak sempurna. Namun arkeologi tidak memandang benda utuhan atau benda pecahan. Semuanya tetap dapat menjadi data arkeologi yang berharga untuk penyusunan sejarah kuno Indonesia. 

Dari pecahan keramik, misalnya, para arkeolog mampu mengidentifikasi keramik tersebut berasal dari masa Dinasti Yuan, Dinasti Song, atau Dinasti Ming. Kalau sudah diketahui dari dinasti mana, maka pertanggalannya mudah ditentukan. Dengan demikian benda-benda lainnya pun memiliki pertanggalan yang sama. Hal seperti ini kurang mendapat perhatian dari media.

Tulisan saya di kompas.id (Sumber: tangkapan layar kompas.id)
Tulisan saya di kompas.id (Sumber: tangkapan layar kompas.id)

Menulis populer

Selama ini belum terjalin erat antara arkeologi dan media. Secara individu mungkin pernah terjadi mengingat banyak arkeolog juga bekerja di bidang jurnalistik.

Masa 1980-an instansi di lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan beberapa kali menyelenggarakan kegiatan penataran tentang penyebarluasan informasi masa lalu kepada para wartawan. Kemudian ditambah kunjungan ke berbagai situs arkeologi untuk bahan penulisan.

Menulis populer memang menjadi ranahnya para wartawan. Bayangkan, bila tulisan dibuat dalam bahasa ilmiah para akademisi atau peneliti, masyarakat umum tentu sulit mengerti.

Nah, kalangan arkeologi pun harus bisa menulis populer. Ini dimaksudkan agar tulisan kita mudah dicerna oleh masyarakat awam. Tulisan yang sering atau terus-menerus bukan tidak mungkin akan menimbulkan apresiasi masyarakat kepada arkeologi.

Boleh dibilang selama ini hanya ada beberapa kalangan arkeologi yang mampu menulis populer. Itu pun umumnya berasal dari kalangan arkeologi non-PNS. Menulis populer memang menjadi kendala sejak lama. Arkeolog-arkeolog perintis seperti Soekmono dan Boechari bukan main dikenal di mancanegara. Ini karena makalah-makalah ilmiah yang mereka sajikan sering dikutip para peneliti. Namun dalam hal menulis populer, kekurangan mereka terasa sekali.

Sebagian tulisan saya di koran Kompas (Dokpri)
Sebagian tulisan saya di koran Kompas (Dokpri)

Menulis populer sangat penting. Apalagi sejak lama ada disiplin Arkeologi Publik. Arkeologi pun bersinggungan dengan masyarakat mengingat ada banyak situs arkeologi terdapat di areal milik warga atau areal terbuka. Di pihak lain, perobohan bangunan kuno, penggalian liar, dan penyelaman liar masih sulit dihindari. Salah satu jalan tentu memberi pemahaman atau sosialisasi lewat tulisan populer kepada masyarakat.

Kalau kita lihat di internet, berita tentang arkeologi sebenarnya cukup banyak. Namun tulisan-tulisan tersebut lebih ke hal fantastik, unik, dan langka. Bahkan cenderung bersifat clickbait, hanya mementingkan monetisasi. Artinya semakin banyak diklik, semakin banyak mendapatkan uang. Di pihak lain, masyarakat tidak memperoleh pengetahuan yang mencerdaskan atau konten positif. Demi menghasilkan uang, ternyata banyak media mengabaikan konten.

Semoga ada kerja sama antara arkeologi dengan media. Arkeologi membutuhkan tempat untuk diberitakan media. Sebaliknya media membutuhkan berita-berita arkeologi untuk melengkapi isi media.***

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun