Sepanjang sejarah arkeologi di Nusantara, kita jarang sekali menemukan tinggalan-tinggalan yang fantastik. Bolehlah kita menggunakan teori ini dan teori itu, namun ekskavasi yang menggunakan metode itu, belum pernah memperoleh tinggalan yang fantastik. Penemuan yang fantastik biasanya berasal dari penemuan tidak disengaja yang kemudian diekskavasi oleh para arkeolog.
Dalam ekskavasi, para arkeolog sering menemukan pecahan keramik, pecahan gerabah, koin yang berkarat, dan benda-benda lain yang tidak sempurna. Namun arkeologi tidak memandang benda utuhan atau benda pecahan. Semuanya tetap dapat menjadi data arkeologi yang berharga untuk penyusunan sejarah kuno Indonesia.Â
Dari pecahan keramik, misalnya, para arkeolog mampu mengidentifikasi keramik tersebut berasal dari masa Dinasti Yuan, Dinasti Song, atau Dinasti Ming. Kalau sudah diketahui dari dinasti mana, maka pertanggalannya mudah ditentukan. Dengan demikian benda-benda lainnya pun memiliki pertanggalan yang sama. Hal seperti ini kurang mendapat perhatian dari media.
Menulis populer
Selama ini belum terjalin erat antara arkeologi dan media. Secara individu mungkin pernah terjadi mengingat banyak arkeolog juga bekerja di bidang jurnalistik.
Masa 1980-an instansi di lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan beberapa kali menyelenggarakan kegiatan penataran tentang penyebarluasan informasi masa lalu kepada para wartawan. Kemudian ditambah kunjungan ke berbagai situs arkeologi untuk bahan penulisan.
Menulis populer memang menjadi ranahnya para wartawan. Bayangkan, bila tulisan dibuat dalam bahasa ilmiah para akademisi atau peneliti, masyarakat umum tentu sulit mengerti.
Nah, kalangan arkeologi pun harus bisa menulis populer. Ini dimaksudkan agar tulisan kita mudah dicerna oleh masyarakat awam. Tulisan yang sering atau terus-menerus bukan tidak mungkin akan menimbulkan apresiasi masyarakat kepada arkeologi.
Boleh dibilang selama ini hanya ada beberapa kalangan arkeologi yang mampu menulis populer. Itu pun umumnya berasal dari kalangan arkeologi non-PNS. Menulis populer memang menjadi kendala sejak lama. Arkeolog-arkeolog perintis seperti Soekmono dan Boechari bukan main dikenal di mancanegara. Ini karena makalah-makalah ilmiah yang mereka sajikan sering dikutip para peneliti. Namun dalam hal menulis populer, kekurangan mereka terasa sekali.
Menulis populer sangat penting. Apalagi sejak lama ada disiplin Arkeologi Publik. Arkeologi pun bersinggungan dengan masyarakat mengingat ada banyak situs arkeologi terdapat di areal milik warga atau areal terbuka. Di pihak lain, perobohan bangunan kuno, penggalian liar, dan penyelaman liar masih sulit dihindari. Salah satu jalan tentu memberi pemahaman atau sosialisasi lewat tulisan populer kepada masyarakat.