Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merawat Prasasti Kuno dengan Minyak Atsiri

27 Juni 2022   14:54 Diperbarui: 29 Juni 2022   15:08 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Konservasi harus dilakukan secara hati-hati (Foto: Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten)

Manusia perlu merawat diri agar tampil menawan atau menarik. Begitu pun benda mati. Namun perawatan benda mati dilakukan oleh manusia yang terampil. Tentu bukan sembarang benda mati, melainkan benda-benda yang memiliki 'nilai lebih'. Contohnya adalah benda purbakala atau tinggalan arkeologis. Karena sudah berusia tua, pasti perlu penanganan khusus.

Arkeologi memang tidak khusus meneliti atau menggali. Salah satu tugas penting lain adalah merawat benda-benda tinggalan nenek moyang agar lebih segar dan lebih tahan lama. Belum lama ini Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten melakukan perawatan terhadap sejumlah prasasti.

Merawat benda-benda purbakala dilakukan oleh bagian khusus, yakni konservasi. Orang yang ahli menangani konservasi disebut konservator. Konservator ada di lingkungan arkeologi dan museum.

Prasasti kuno yang dikonservasi itu berada di Situs Astana Gede, Kawali, Ciamis (Jawa Barat). Namanya Prasasti Astana Gede atau Prasasti Kawali. Nama Kawali ternyata lebih populer.

Agar aman untuk cagar budaya dan konservator, konservasi menggunakan bahan alami yaitu minyak atsiri sereh wangi. Tanaman itu banyak terdapat di Nusantara sejak lama.

Konservasi dilakukan oleh petugas yang terampil. Bahan-bahan digosokkan sedikit demi sedikit ke obyek. Tentu agar obyek tidak rusak terkena sentuhan kasar. Sentuhan harus secara halus tentunya. Obyek sebelum dan sesudah konservasi terlihat jelas. Ini tentu untuk kepentingan publik. Bagaimana jadinya jika publik tidak bisa melihat aksara-aksara kuno itu. Dengan aksara yang terlihat jelas, mungkin saja akan timbul apresiasi terhadap kepurbakalaan.

Minyak atsiri untuk konservasi benda kuno (Foto: Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten)
Minyak atsiri untuk konservasi benda kuno (Foto: Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten)

Prasasti Kawali

Prasasti Kawali memang menarik. Sejauh ini ada enam prasasti sehingga disebut Kawali 1 sampai Kawali 6. Aksara dan bahasa yang digunakan adalah Sunda kuno. Uniknya, prasasti-prasasti tersebut dipahatkan di atas batu yang tidak dibentuk secara khusus.

Sayang, prasasti-prasasti itu tidak mengandung pertanggalan atau angka tahun. Namun berdasarkan bentuk hurufnya dan penyebutan nama raja, diketahui prasasti tersebut berasal dari abad ke-14 Masehi. Jadi usianya sudah sekitar 600 tahun sehingga perlu dirawat.

Prasasti Kawali pernah diteliti para sarjana asing, seperti R. Friederich (1855) dan K.F. Holle (1867). Peneliti Indonesia yang pernah membahas Prasasti Kawali adalah Dirman Surachmat, Saleh Danasasmita, Atja, Ayatrohaedi, Hasan Djafar, dan Titi Surti Nastiti.

Secara singkat isi prasasti ini adalah tentang himbauan dan pesan seorang raja kepada rakyatnya untuk selau berbuat kebajikan dan kesejahteraan yang merupakan kunci kejayaan dan kemakmuran negeri.    

Perlu diketahui, prasasti-prasasti yang ditemukan di Jawa Barat dan Banten tidak sebanyak prasasti-prasasti yang ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sembilan dari 39 prasasti yang ada di Jawa Barat ditemukan di Kabupaten Ciamis.***  

Konservasi harus dilakukan secara hati-hati (Foto: Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten)
Konservasi harus dilakukan secara hati-hati (Foto: Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten)

Bahan bacaan: 

Titi Surti Nastiti dan Hasan Djafar. "Prasasti-prasasti dari Masa Hindu-Buddha (Abad ke-12---16 Masehi) di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat," Jurnal Purbawidya, Vol. 5, No. 2, November 2016, hlm. 101-116.         

Nurhadi Magetsari dkk. Kamus Arkeologi Indonesia 2. Jakarta: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun