Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Baso, Aslinya Daging Babi Berbentuk Bulat

23 Juni 2022   12:57 Diperbarui: 24 Juni 2022   11:14 647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Batik motif mega mendung dipengaruhi jubah Kaisar Qing (Sumber: tangkapan layar makalah Udaya Halim)

Belum lama ini berdiri sebuah lembaga ilmiah bernama Center for Prehistory and Austronesian Studies (CPAS). Pendirian lembaga ini dipelopori oleh sejumlah arkeolog yang mengambil spesialisasi prasejarah, seperti Prof. (Ris.) Truman Simanjuntak, Prof. (Ris.) Harry Widianto, dan sejumlah arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang sekarang tergabung dalam BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional).

CPAS khusus bergerak di bidang studi prasejarah dan studi Austronesia. Prasejarah berupa ilmu yang mempelajari manusia purba sejak jutaan hingga ribuan tahun yang lalu. Dalam perjalanannya, kita mengenal manusia Australopithecus, Homo erectus, Cro-magnon, Neanderthal, dsb. Mereka berjalan dari satu tempat ke tempat lain, hingga sampai ke Nusantara yang waktu itu masih menyatu. Belum berbentuk seperti sekarang yang terpisah oleh laut tentunya.

Keramik Tiongkok di makam Sunan Gunung Jati (Sumber: tangkapan layar makalah Udaya Halim)
Keramik Tiongkok di makam Sunan Gunung Jati (Sumber: tangkapan layar makalah Udaya Halim)

Interaksi sosial budaya

Tanpa disadari, antara manusia yang datang dan manusia yang menerima kedatangan, terjadi interaksi sosial budaya. Jalinan hubungan tersebut ternyata turut membentuk identitas bangsa kita. Soalnya berbagai proses budaya kerap terjadi, saling mempengaruhi ragam tradisi dan adat-istiadat di setiap daerah. Salah satunya akulturasi, perpaduan harmonis hasil silang budaya tanpa meninggalkan ciri khas aslinya.

Bagaimana pertautan antarbangsa terjadi di masa silam dan apa artinya bagi bangsa Indonesia saat ini?

Rabu, 22 Juni 2022 CPAS menyelenggarakan "Online Public Talkshow" dengan topik "Akulturasi dalam Memori Kolektif Bangsa Indonesia". Narasumber dalam kegiatan itu Udaya Halim, seorang budayawan Tionghoa. Beliau pendiri Museum Benteng Heritage di Tangerang dan aktif di berbagai organisasi yang menebarkan pesan toleransi dan cinta tanah air.

Batik motif mega mendung dipengaruhi jubah Kaisar Qing (Sumber: tangkapan layar makalah Udaya Halim)
Batik motif mega mendung dipengaruhi jubah Kaisar Qing (Sumber: tangkapan layar makalah Udaya Halim)

Menurut Udaya, pelayaran Laksamana Cheng Ho atau Zheng He (1371-1433) banyak berpengaruh di Nusantara dalam bentuk tinggalan budaya yang bendawi dan nonbendawi. Cheng Ho diperintahkan oleh Kaisar Yong Le (Zhu Di) dari Dinasti Ming di Tiongkok untuk melakukan pelayaran ke Laut Selatan. Tujuannya membangun hubungan bilateral dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Selatan. 

Dalam kurun waktu 1405-1433, Cheng Ho memimpin pelayaran sebanyak tujuh kali dengan armada kapal kayu (junk) sebanyak 220-300 kapal. Pelayaran itu membawa hampir 30.000 orang yang terdiri atas tentara, ahli pertanian, ahli perbintangan, penerjemah, dsb. Ketika pulang, ada rombongan yang kapalnya kandas, lalu menetap dan menikah dengan penduduk lokal.

Cheng Ho sendiri bernama asli Mohammad He. Nah, mungkin saja pendiri Demak, Raden Patah, bernama asli Jin Bun. Begitu pun para wali sembilan (walisanga), masih keturunan Tionghoa. Dalam menyerang Malaka, misalnya, Pati Unus dan Ratu Kalinyamat menggunakan Junk Jawa yang sangat dipengaruhi Junk Tiongkok.

Menurut Udaya selanjutnya, makam Sunan Gunung Jati dan isterinya, Ong Tien Nio, menggunakan dekorasi hiasan dari keramik masa Dinasti Ming. Masih di Cirebon, motif batik mega mendung yang amat dikenal itu ternyata merupakan pengaruh jubah Kaisar Qing. Di daerah lain, banyak motif flora/fauna pada batik berasal dari Tiongkok. Yang amat dikenal batik peranakan. Pengaruh Tionghoa tampak sekali pada bangunan dan tinggalan budaya di Lasem. Maka Lasem dijuluki Tiongkok kecil.

Motif flora/fauna asal Tiongkok berpengaruh di Nusantara (Sumber: tangkapan layar makalah Udaya Halim)
Motif flora/fauna asal Tiongkok berpengaruh di Nusantara (Sumber: tangkapan layar makalah Udaya Halim)

Pengaruh Tiongkok lain terdapat pada kuliner. Yang paling dikenal adalah baso. Aslinya baso adalah daging babi yang berbentuk bulat. Namun di Nusantara dimodifikasi menjadi baso sapi, baso ikan, dsb. Bentuk baso pun ada gepeng, kecil, besar, bahkan ada istilah baso beranak. Sekoteng, mie, bacang, dan asinan juga pengaruh Tiongkok.

Istilah loteng, kemoceng, pisau, pengki, gua (yang sering disingkat gw), elu, dan cabo juga berasal dari kata-kata dialek Hokkian yang sudah membumi di Nusantara. Pengaruh Tionghoa lain banyak terdapat di Betawi, seperti hiasan burung hong, kebaya encim, dan baju koko.

Ternyata kebudayaan itu dinamis. Saling mempengaruhi di tempat baru. Kalau ada rendang babi sebagaimana viral akhir-akhir ini, tentu saja sah. Bisa jadi nanti ada rendang ikan, rendang ayam, rendang ular, atau bahan lain. Kalau tidak suka, jangan ikut makan, itu saja.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun