Sejak wacana tiket candi Rp750.000 untuk wisatawan nusantara dan 100 dollar untuk wisatawan mancanegara, banyak tulisan tentang Candi Borobudur. Ada tentang masalah konservasi (arkeologi), ada tentang pariwisata (ekonomi), dan ada pula tentang keagamaan. Ada yang memperbandingkan dengan tiket masuk di berbagai bangunan purbakala mancanegara. Ada soal kaya dan miskin karena tiket mahal. Begitulah dinamika dalam masyarakat.
Dari komentar-komentar pada media sosial, saya lihat masyarakat agak emosional melihat tingkah laku para pengunjung yang hanya selfie, duduk-duduk sambil ngobrol, makan dan minum, bahkan membuang sampah di lantai. Dengan tiket tinggi, diharapkan tingkah laku negatif itu berubah. Demikian sebagian komentar.
Ada yang usul agar Candi Borobudur dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan. Dengan demikian timbul rasa tenang dan sunyi di atas. Usul ini sangat tidak mungkin karena Candi Borobudur merupakan 'monumen mati'. Kalau masih 'monumen hidup', tentu boleh dimanfaatkan bebas oleh masyarakat masa sekarang. Â Yang jelas, rata-rata sepakat kalau Candi Borobudur harus dilestarikan.
Di Kompasiana saya lihat banyak Kompasianer menulis tentang Candi Borobudur. Saya sendiri sejak masalah tiket viral, sempat menulis lima artikel. Mungkin saya termasuk penulis terbanyak. Beberapa tulisan tentang Candi Borobudur pernah saya buat sebelum kasus ini menghangat.
Karena saya pandang kurang greget, saya pun menulis di Kompas pada 9 Juni 2022. Sebagai surat kabar besar di Indonesia, pasti tulisan itu mendapat perhatian. Tulisan itu didukung oleh tulisan wartawan Kompas yang mewawancarai berbagai pihak.
Saya harapkan, kasus Borobudur, akan berdampak pada kepurbakalaan lain. Jangan cuma perhatian kepada Borobudur yang memang merupakan candi besar. Banyak candi kecil juga menarik, baik yang terbuat dari batu andesit maupun batu bata. Besar kecil atau bagus jelek, tetap tinggalan masa lampau yang penuh makna. Bukti keunggulan nenek moyang kita dalam merencanakan dan mendirikan bangunan. Hanya karena alam, maklum ditinggalkan selama bertahun-tahun, bangunan-bangunan itu rusak. Apalagi bencana alam, termasuk letusan gunung berapi, menimbun bangunan-bangunan itu.
Yang namanya kepurbakalaan, bukan hanya candi. Masih banyak yang termasuk kategori bangunan seperti masjid, keraton, dan istana. Bahkan banyak yang berukuran kecil seperti arca, keramik, senjata, dan hiasan rumah. Semuanya tentu harus dilestarikan.
Kita harus belajar banyak dari kasus Borobudur. Jangan ada lagi vandalisme, pencurian, dan tingkah laku negatif. Kita harus memaknai atau meresapkan nilai-nilai penting dari berbagai kepurbakalaan. Semua kepurbakalaan itu tidak bisa dicipta ulang. Kekayaan budaya kita sungguh amat sangat banyak. Wisatawan mancanegara saja kagum dengan tinggalan budaya kita. Kita di sini yang justru mengacuhkannya.
Sekali lagi, jadikan kasus Borobudur sebagai momentum untuk memberikan apresiasi kepada tinggalan nenek moyang kita. Kalau bukan kita, siapa lagi yang harus melestarikan. Kalau bukan sekarang, kapan lagi harus melestarikan. Jangan sampai kita menyesal sebagai negara berkebudayaan tinggi, tinggalan-tinggalan budaya kita banyak rusak, hancur, dan hilang karena manusia.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H