Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tiket Borobudur Rp 750.000 untuk Mencegah Vandalisme Pengunjung

6 Juni 2022   09:10 Diperbarui: 6 Juni 2022   21:45 1010
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yudi Suhartono dari Balai Konservasi Borobudur memperlihatkan keausan batu dan vandalisme oleh pengunjung (Sumber: antarafoto.com)

Berbagai fasilitas pendukung ada di kawasan Candi Borobudur, seperti museum arkeologi, pusat penelitian Borobudur, perkantoran, pusat penerangan, dan pusat konservasi batu. 

Rencana Induk Candi Borobudur pada dasarnya membagi kawasan atas lima zona. Seingat saya, zona 1 adalah zona inti, halaman Candi Borobudur. Makin keluar terdiri atas zona 2 (daerah taman), zona 3 (daerah pemukiman), zona 4 (daerah yang masih diawasi), dan zona 5 (daerah yang diperkirakan masih ada tinggalan arkeologi).  

Zona 1 tentu saja menjadi 'kekuasaan' arkeologi lewat Balai Konservasi Borobudur. Areal zona 1 tidak besar. PT Taman Wisata 'berkuasa' atas zona 2. Luasnya sekitar 85 hektar. Pada zona 2 dibangun fasilitas kepariwisataan dan fasilitas arkeologi. Zona 3 ditempati pemukiman penduduk, hotel, pertokoan, dan perkantoran.

Sebagai penguasa zona 1 tentu saja arkeologi amat berperan, misalnya bagaimana mengatur lalu lintas pengunjung. Masukan ini disampaikan ke pihak pariwisata.

Silakan baca Tulisan saya sebelumnya

Ketika Gunung Merapi memuntahkan debu, pihak Balai Konservasi Borobudurlah yang bekerja keras. Mereka menutupi stupa dengan plastik. Setelah itu membersihkan debu. Kegiatan lain berupa konsolidasi batu relief Candi Borobudur. Kegiatan ini bertujuan meningkatkan ikatan material pada batu yang rapuh serta membersihkan sementasi yang mengganggu keluarnya air dari dalam nat batu Candi Borobudur.  

Kelihatannya tugas arkeologi ringan, cuma menemukan dan memugar. Padahal biaya perawatan atau konservasi sangat mahal. Selain itu perlu tenaga terampil dan peralatan canggih.

Seingat saya, UNESCO sudah beberapa kali menegur pengelola candi untuk membatasi jumlah pendaki candi. Bukan pengunjung candi yah. Maklum UNESCO termasuk penyumbang dana pemugaran Candi Borobudur pada 1970-an. 

Terakhir saya mendengar dan melihat paparan Moe Chiba dalam seminar internasional di kawasan Borobudur pada akhir Juni 2021. Ia khawatir kelestarian Candi Borobudur karena ketidakdisiplinan pengunjung. Borobudur menjadi perhatian karena sudah menjadi milik internasional sebagai warisan dunia.

Petugas Balai Konservasi Borobudur membersihkan debu Merapi yang menempel pada stupa (Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id)
Petugas Balai Konservasi Borobudur membersihkan debu Merapi yang menempel pada stupa (Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Sebenarnya di atas Candi Borobudur sudah ada larangan membuang sampah dsb. Namun tampaknya pengunjung tidak disiplin. Coba perhatikan arca Kunta Bhima yang sering disentuh pengunjung. 

Arca itu penuh bercak putih karena sering dijamah pengunjung yang ingin 'mendapat rezeki'. Sejumlah kepala arca pernah patah akibat digoyang-goyang pengunjung yang ingin berfoto. Banyak kerusakan lain akibat kejahilan pengunjung, termasuk adanya vandalisme. Pada 2019 ada 3.000-an noda permen karet, puntung rokok, dan corat-coret. Bayangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun