Suku Mentawai di Sumatera Barat memiliki rajah atau tato di tubuhnya, sesuai ritual Arat Sabulungan. Arat Sabulungan merupakan satu sistem pengetahuan, nilai, dan aturan hidup yang dipegang kuat dan diwariskan oleh leluhur suku Mentawai. Mereka meyakini adanya dunia roh dan jiwa.
William Marsden dalam laporannya abad ke-18 mengatakan, umumnya penduduk Mentawai memakai tato (titi). Mereka mulai memberi tato pada anak laki-laki sejak berumur tujuh tahun. Semakin bertambah usia si anak, tato semakin dilengkapi. Khusus di Pagai, tato kaum perempuan berbentuk bintang dan ditorehkan di kedua bahu. Tato itu dibuat dengan kawat tembaga yang dipasang tegak lurus di ujung sepotong kayu dengan panjang sekitar 20 sentimeter. Tinta yang dipakai terbuat dari jelaga damar yang dicampur air atau air tebu (Sejarah Sumatra, hal. 272).
Tato memang tidak bisa dilepaskan dari penduduk wilayah ini. Banyak pakar memperkirakan tato tertua berasal dari Mentawai. Beberapa sumber menyebutkan masyarakat Mentawai sudah menato tubuh sejak kedatangan mereka ke pantai barat Sumatera pada Zaman Logam, 1500 SM -- 500 SM. Mereka adalah bangsa Proto-Melayu yang berasal dari daratan Asia (Indocina). Tradisi tato di Mentawai mungkin sezaman dengan tradisi tato di Mesir, yang sekurang-kurangnya telah ada pada 1300 SM.
Banyak orang asing terpikat oleh eksotisme tato tradisional (tribal tattoo), hingga mereka rela mencari langsung ke sumbernya. Tato tradisional Indonesia memang layak dihargai, karena seni dekorasi tubuh di sini diperkaya dengan budaya lokal.
Tradisi tato juga masih dianut masyarakat Dayak di Kalimantan.  Bagi  mereka, tato memiliki makna yang sangat mendalam. Selain bagian dari tradisi dan religi, tato merupakan penunjuk status sosial seseorang dan sebagai bentuk penghargaan suku terhadap kemampuan seseorang. Karenanya tato tidak bisa dibuat sembarangan.
Ada aturan-aturan tertentu dalam pembuatan tato atau parung, yakni dalam pilihan gambarnya, struktur sosial orang yang ditato, dan penempatan tatonya. Secara religi tato memiliki makna sebagai "obor" dalam perjalanan seseorang menuju alam keabadian setelah kematian.
Proto-Austronesia
Tradisi tato di Asia Tenggara berkembang pada masyarakat yang memiliki rumpun bahasa Proto-Austronesia sekitar 3000 SM. Arkeolog UGM, Anggraeni, mengatakan kesinambungan tradisi menato tubuh pada masa lampau dan pada masa sekarang diketahui dari hasil penelitian arkeologis di beberapa tempat di Kepulauan Pasifik. Secara umum alat yang sekarang masih digunakan untuk membuat tato, ternyata masih sama dengan alat yang ditemukan dalam berbagai ekskavasi arkeologi.
Meskipun di Indonesia belum pernah ditemukan rangka manusia dengan tato di kulitnya, namun adanya tato ditafsirkan dari sejumlah artefak yang mempunyai motif hias manusia atau menggambarkan figur manusia. Misalnya, penelitian yang dilakukan Jan Fontein terhadap suatu artefak yang diperkirakan berasal dari Pulau Roti.
Artefak ini memiliki seni tato pada figur manusianya. Bagian tubuh dihiasi dengan lingkaran-lingkaran konsentris yang menggambarkan tato. Bagian wajah yang digambarkan seperti topeng, tampaknya juga memperlihatkan adanya tato. Hal ini terlihat dari adanya semacam garis atau goresan pada kedua pipi seperti taring, mulai dari rahang bawah sampai kelopak bawah mata (Jejak-jejak Budaya, hal. 145).