Pertama kali perhelatan Piala Thomas digelar pada 1949. Malaya (kini Malaysia) berhasil merebut piala itu untuk pertama kali. Tiga tahun berikutnya, yakni pada 1952, Malaya berhasil mempertahankan gelar. Begitu juga pada 1955.
Indonesia menjadi anggota Federasi Bulutangkis Internasional (IBF) pada 1953. Sejak itulah bulutangkis mulai dikenal di sini. Para pemain pun sering mengikuti kegiatan internasional.
Setelah tiga kali menjadi kampiun Piala Thomas, pada 1958 Malaya berkesempatan meraih gelar ke-4 secara berturut-turut. Tanpa disangka, keperkasaan Malaya dijegal Indonesia. Tidak tanggung-tanggung dengan skor 6-3. Padahal saat itu Malaya diwakili oleh beberapa pemain hebat. Untuk pertama kalinya Indonesia meraih Piala Thomas.
Tak mau kalah dengan Malaya, Indonesia pun meraih Piala Thomas tiga kali berturut-turut. Setelah merebut pada 1958, kemudian mempertahankan pada 1961 dan 1964. Dalam perhelatan itu tim Indonesia antara lain diisi oleh Ferry Sonneville, Tan Joe Hok, Eddy Jusuf, Â Ang Tjin Siang, Tan King Gwan, Njoo Kim Bie, dan Wong Pek Shen.
Rudy Hartono
Pada 1967 perhelatan Piala Thomas berlangsung di Senayan, Jakarta. Secara teoretis, Indonesia akan mudah mempertahankan piala itu. Berarti empat kali berturut-turut kita menyimpan Piala Thomas di bumi Indonesia.
Namun, menurut beberapa sumber, terdapat masalah untuk menyusun tim Indonesia. Maklum, dulu belum ada sistem pelatnas. Ferry Sonneville (kelahiran 1931) terpilih menjadi pemain tunggal. Padahal banyak pihak menganggap, umur 36 sudah terlalu tua untuk bermain tunggal. Saat itu prestasi Ferry sudah menurun. Ironisnya, nama Tan Joe Hok (kelahiran 1937) ditendang dari tim.
Pada partai final itu, Indonesia kembali berhadapan dengan musuh bebuyutannya yang kini sudah berganti nama, Malaysia. Â Pertandingan berlangsung pada 9 dan 10 Juni 1967. Malaysia diperkuat oleh pemain tunggal juara All England Tan Aik Huang. Juga ganda Ng Boon Bee/Tan Yee Khan, yang juga kampiun All England.
Sebaliknya pemain Indonesia tidak terlalu 'wah'. Ada pemain senior Ferry Sonneville (36 tahun) dan pemain yunior Rudy Hartono (18 tahun).
Tak jauh berbeda dengan era sekarang, suporter era 1960-an juga sangat antusias, berjiwa nasionalisme tinggi, serta totalitas memberikan dukungan. Bahkan terkesan  berisik dan 'galak'.