Beberapa ratus tahun lalu jarak dari masjid ke rumah warga cukup jauh. Warga yang beragama Muslim pun belum banyak tahu kapan waktu beribadah. Maka sebagai tanda atau pemberitahuan datangnya waktu shalat, ditabuhlah bedug.
Bedug merupakan alat musik tabuh seperti gendang. Di bagian luar masjid, bedug diletakkan di atas batang kayu yang disilangkan. Ada juga yang digantung di bawah atap. Keletakan bedug harus cukup tinggi agar petugas mudah menabuh bedug. Maklum, posisi penabuh bedug harus berdiri. Alat bantu menabuh bedug berupa batang kayu berukuran sekitar 30 sentimeter.
Dulu bedug terbuat dari batang kayu besar yang bagian tengahnya dilubangi. Biasanya bedug memiliki panjang 1-1,5 meter. Besar lubang tidak sama karena satu bagian berukuran lebih besar. Pada bagian yang lebih besar itu ditutup dengan kulit hewan. Kulit itu berfungsi sebagai membran atau selaput gendang. Umumnya dari kulit lembu atau sapi karena berukuran cukup besar.
Setelah kayu gelondongan sulit diperoleh, pembuatan bedug menggunakan papan kayu yang dirangkai. Setelah rampung, badan bedug dicat dan diukir. Ada juga yang polos, ini hanya masalah keterampilan si pembuat.
Bila ditabuh, bedug menimbulkan suara berat, bernada khas, rendah, tapi dapat terdengar hingga jarak yang cukup jauh. Volume suara bedug jauh lebih besar daripada suara manusia atau bunyi-bunyian lain.
Nekara dan moko Â
Ada pendapat bedug merupakan perkembangan dari nekara atau moko. Nekara adalah gendang perunggu berbentuk seperti dandang berpinggang pada bagian tengahnya dengan selaput suara berupa logam atau perunggu. Sebagai tinggalan masa lampau, nekara memiliki berbagai tipe. Arkeolog R.P. Soejono pernah meneliti nekara. Usia nekara mencapai ribuan tahun. Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa koleksi nekara perunggu, dari yang polos hingga berhiasan.
Pada zamannya, nekara dianggap benda suci yang berfungsi sebagai benda upacara, maskawin, dll. Mungkin juga sebagai genderang perang atau memanggil warga. Situs-situs arkeologi tempat penemuan nekara antara lain Jawa, Bali, Sumatera, Roti, Selayar, Gorom, dan Kepulauan Kei. Nekara yang kecil diberi nama Moko atau Mako, kebanyakan ditemukan di Alor.
Ada pendapat bedug berasal dari Tiongkok. Konon, ketika Cheng Ho atau Zheng He datang dari Tiongkok, ia singgah di Semarang. Ia disambut dengan baik oleh Raja Jawa pada masa itu. Ketika memasuki istana, pasukan Cheng Ho berbaris diiringi tabuhan bedug.
Saat meninggalkan istana, Cheng Ho hendak memberikan hadiah kepada raja. Karena terkesan dengan suara tabuhan tadi, raja mengatakan bahwa dirinya hanya ingin mendengarkan suara bedug dari masjid. Sejak itulah bedug menjadi bagian dari masjid.