Pada masa pemerintahan Orde Baru (1965-1998), segala produk yang berhuruf Mandarin, budaya Tionghoa, dan bersinggungan dengan Tiongkok mendapat perhatian ketat. Perayaan Tahun Baru Imlek hanya boleh di lingkungan masing-masing. Papan nama yang berhuruf Mandarin dilarang berdiri. Begitulah sebagian kecil contoh.
Bahkan ada larangan khusus untuk barang cetakan. Buku yang terlanjur beredar, harus ditarik dari pasaran. Pada 1968, misalnya, Prof. Slamet Muljana menerbitkan buku Runtuhnja Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Buku itu dipandang mengungkapkan hal-hal  kontroversial. Intinya, tulis Slamet Muljana, sebagian besar Walisongo atau Sembilan Wali adalah orang-orang Tionghoa. Â
Slamet Muljana adalah pakar naskah dari UI. Dalam penulisan buku itu, ia menggunakan tiga sumber utama, yakni Serat Kanda, Babad Tanah Jawi, naskah dari kelenteng Sam Po Kong (Semarang), dan naskah dari kelenteng Talang (Cirebon).
Poortman
Awalnya, Residen Poortman pada 1928 ditugasi pemerintah kolonial untuk menyelidiki apakah Raden Patah itu orang Tiongkok atau bukan. Dalam Serat Kanda, sebagaimana pengantar Dr. Asvi Warman Adam dalam buku karya Slamet Muljana itu, Raden Patah bergelar Panembahan Jimbun. Sementara dalam Babad Tanah Jawi bergelar Senapati Jimbun. Menurut salah satu dialek Tionghoa, jimbun berarti 'orang kuat'.
Dari Semarang, Poortman membawa tiga cikar (pedati) naskah berbahasa Tionghoa. Arsip Poortman itu kemudian dikutip Mangaradja Onggang Parlindungan dalam buku Tuanku Rao. Slamet Muljana banyak menyitir dari buku itu. Buku Tuanku Rao terbit pada 1964 dan kemudian ditarik dari peredaran oleh penerbitnya.
Kesimpulan dari Slamet Muljana antara lain:
- Sunan Ampel = Bong Swi Hoo
- Bong Swi Hoo menikah dengan Ni Gede Manila (anak Gan Eng Cu), lahir Sunan Bonang.
- Bonang diasuh Sunan Ampel bersama dengan Giri, dikenal sebagai Sunan Giri.
- Anak Gan Eng Cu yang lain bernama Gan Si Cang, berarti ipar Sunan Ampel. Gan Si Cang identik dengan Sunan Kalijaga.
- Toh A Bo menjadi Sunan Gunung Jati.
- Ja Tik Su menjadi Sunan Kudus.
Kronik Tionghoa
Salah satu keunggulan bangsa Tiongkok adalah mencatat segala sesuatu tentang keunikan dari masyarakat di negara-negara yang mereka kunjungi. Sejarah kuno Nusantara banyak memperoleh informasi dari kronik-kronik Tiongkok yang disebut juga Kitab Sejarah Para Dinasti atau Berita Tiongkok. Dulu setiap dinasti di Tiongkok menuliskan kisah perjalanan mereka.
Sebagai contoh, satu sumber Tiongkok mengatakan, masyarakat Majapahit kalau makan menggunakan tangan. Tentu beda dengan masyarakat Tiongkok yang menggunakan sumpit. Ada lagi informasi tentang pertunjukan yang memakai semacam kain (ditafsirkan wayang beber).
Kisah sejarah para Tionghoa Muslim di Nusantara dimulai abad ke-15---16. Diawali dengan pelayaran Cheng Ho atau Zheng He ke Asia Tenggara. Sampai kini jejak-jejak Tionghoa, sebagaimana jejak-jejak bangunan Belanda, banyak terdapat di Nusantara.
Sejarah (kuno) tentu saja bisa berubah, asalkan ada sumber sejarah lain. Ini mengingat jangka waktunya jauh ke belakang. Beda dengan sejarah modern yang tergantung arsip setelah kemerdekaan. Biarpun begitu, masih tetap ada kontroversi juga, misalnya tentang Surat Perintah 11 Maret. Padahal surat itu dikeluarkan pada 1966.
Jadi benarkah Walisongo adalah orang-orang Tionghoa? Semoga ada penelitian lebih lanjut.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H