Salah satu sumber sejarah kuno Nusantara yang penting adalah prasasti. Prasasti ditulis atau dipahat di atas batu atau logam menggunakan aksara kuno, seperti Jawa Kuno dan Bali Kuno. Pengetahuan ini sering menjadi bagian Ilmu Arkeologi. Beberapa disiplin lain seperti sastra Jawa atau Pendidikan Sejarah juga sering mempelajari aksara-aksara kuno.
Sumber tertulis yang lebih muda ditulis pada daun tal, populer disebut lontar/rontal. Arkeologi tidak mengkaji sumber ini. Biasanya disiplin Sastra Jawa yang menangani rontal.
Isi prasasti
Tulisan pada prasasti ada yang pendek dan ada yang agak panjang, bahkan panjang sekali. Teridentifikasi ada berbagai isi prasasti, seperti keputusan pengadilan (disebut prasasti jayapatra atau jayasong), sebagai tanda kemenangan (jayacikna), tentang utang-piutang (suddhapatra), dan tentang kutukan atau sumpah (sapatha).
Bagian awal prasasti biasanya berisi pertanggalan atau tarikh, alasan prasasti dikeluarkan, nama-nama pejabat yang hadir, persembahan yang diterima raja/pejabat, dsb. Lalu ada tentang pesta setelah peresmian sima (tanah yang dilindungi kerajaan). Makanan dan minuman yang disediakan disebutkan satu per satu, meskipun ada beberapa yang belum teridentifikasi. Pada bagian akhir disebutkan sumpah atau kutukan bagi masyarakat yang melanggar atau melakukan pidana pada wilayah tersebut. Kutukan dibacakan oleh pemimpin upacara yang disebut makudur.
Sebagai ilustrasi kita bisa lihat kutukan orang-orang zaman dulu pada nomor 15 sampai 19. Nomor ini menunjukkan baris pada Prasasti Rukam (829 Saka atau 907 Masehi). "Bila ada yang berani merusak dan mengganggu sima ini, apalagi yang hendak menghancurkannya, tusuklah hatinya, sobeklah perutnya, lepaskanlah pahungnya, keluarkan isi perutnya, tamparlah kedua pipinya...". Sayang para epigraf (pakar membaca prasasti) belum menemukan padanan kata pahungnya. Untuk mengetahui lebih jauh silakan baca baris ke-16 hingga ke-19. Ih seram deh isi Prasasti Rukam itu.
Begitulah menangani prasasti. Dari bahasa yang cuma dimengerti mereka yang pernah belajar aksara kuno hingga terjemahan. Dari terjemahan harus ditafsirkan lagi karena bahasa dalam prasasti boleh dikatakan bersifat 'puitis'.
Prasasti Telaga Batu
Kita lihat lagi soal kutukan pada Prasasti Telaga Batu. Prasasti ini menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Terselip beberapa kata Sanskerta dalam prasasti itu. Diduga prasasti itu bertarikh abad ke-7 Masehi dihubungkan dengan Kerajaan Sriwijaya. Saat ini Prasasti Telaga Batu bisa dilihat di Museum Nasional Jakarta dengan nomor inventaris D.155.
Prasasti Telaga Batu berisikan kutukan terhadap siapa saja yang melakukan kejahatan di Kadatuan Sriwijaya dan tidak taat kepada perintah Datu. Termasuk para pejabatnya, mulai dari putra mahkota, hakim, jaksa, kapten bahari, pengrajin, tukang cuci, sampai tukang sapu Kadatuan. Â
Yang menarik, bagian atas prasasti berhiaskan tujuh kepala ular kobra berbentuk pipih dengan mahkota berbentuk permata bulat. Lehernya mengembang dengan hiasan kalung. Hiasan ular kobra tersebut bersatu dengan permukaan batu datar pada bagian belakang.
Pada bagian bawah prasasti terdapat cerat atau pancuran seperti pada yoni. Cerat tersebut berfungsi untuk mengalirkan air. Ada pendapat cerat tersebut digunakan untuk menyumpah para pejabat kerajaan. Petugas mengalirkan air dari atas, lalu setiap pejabat meminum air yang dituangkan tadi lewat cerat. Dengan demikian sumpah atau kutukan tersebut benar-benar meresap di dalam hati si pejabat.
Kemungkinan ketika itu terjadi pertikaian di antara keluarga kerajaan. Maka sumpah setialah yang diharapkan.***Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H