Foto di atas berasal dari Prasasti Rukam, bertarikh 829 Saka atau 907 Masehi. Prasasti itu ditemukan pada 1975 di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Secara panjang lebar pernah dibicarakan Ibu Richadiana Kartakusuma.
Saya coba telusuri dari sumber lain, buku Early Tenth Century Java from the Inscriptions karya Antoinette M. Barrett Jones. Beberapa prasasti memang menyebutkan jenis-jenis makanan, sayang belum ada yang menyinggung makanan yang digoreng.
Serat Centhini
Baru pada masa yang lebih muda kita menemukan makanan yang digoreng pada Serat Centhini dari abad ke-18.Â
Di luar itu, beberapa sumber menyebutkan orang Tiongkok-lah memperkenalkan masakan yang digoreng. Pada abad ke-17 memang masyarakat Tiongkok banyak berdatangan ke Nusantara.
Agak unik kalau masyarakat Tiongkok doyan gorengan. Soalnya rata-rata masakan mereka dikukus atau direbus. Dengan cara itu makanan tidak akan gosong atau terlalu matang. Gizinya pun tidak akan hilang karena larut dalam air.
Berbicara minyak goreng ada berbagai bahan baku yang digunakan, seperti kelapa, jagung, biji bunga matahari, beras, dan zaitun. Biasanya tergantung produksi dari negara mana.
Di Nusantara minyak berasal dari kelapa, termasuk kelapa sawit. Pemerintah kolonial atau penjajah mendirikan beberapa pabrik di Nusantara.Â
Pada 1918, misalnya, mereka mendirikan pabrik pembuatan minyak kelapa di Rangkasbitung bernama Mexolie. Produk mereka terbesar di Asia Tenggara. Aksi penjajah ini bertujuan mengeruk hasil alam. Pabrik sejenis didirikan pula di beberapa daerah.
Sayang pada 2007 pabrik ini bangkrut karena kalah bersaing dengan minyak kelapa sawit yang harganya lebih murah. Padahal minyak kelapa lebih gurih dan lebih nikmat daripada minyak kelapa sawit. Sebagian lahan pabrik kemudian berubah menjadi mal. Begitu yang saya kutip dari bingar.id.
Karena kelapa sawit lebih murah itulah maka banyak lahan berubah jadi perkebunan kelapa sawit. Beberapa pengusaha besar lalu disebut Raja Minyak. Maklum minyak goreng sangat dibutuhkan oleh rumah tangga dan industri.