Ketika membuka internet, mata saya tertuju pada berita soal Doktor Honoris Causa atau Doktor Kehormatan. Obral Dr (HC) untuk para pimpinan dan koruptor. Lalu tentang Permendikbud 21 tahun 2013 tentang Pemberian Gelar Doktor Kehormatan. Tentu masih banyak lagi.
Saya jadi teringat menjelang pemilu 2019 lalu. Di sepanjang jalan banyak poster calon legislatif, belum lagi  baliho, spanduk, iklan media cetak dan elektronik, selebaran, dan cara-cara lain untuk berkampanye. Pokoknya semarak di mana-mana.
Ketika itu apakah Anda memperhatikan nama-nama mereka? Sering kali terselip berbagai gelar, seperti MBA, M.Si, M.Hum, Ir, M.M, M.Min, MIA, SE, Drs, lengkap dengan foto masing-masing.
Belum puas menampilkan sederetan gelar akademis, dipajang lagi gelar Dr (HC) atau Doktor "Honoris Causa". Yang patut dipertanyakan, darimana mereka memperoleh gelar Dr (HC) tersebut? Apakah karena jasa atau prestasinya ataukah boleh membeli?
"Honoris Causa" berasal dari bahasa Latin. Arti sebenarnya, "dengan alasan kehormatan". Sesuai kaidah akademis, tidak semua perguruan tinggi dapat menganugerahkan gelar Dr (HC). Hanya perguruan tinggi yang memenuhi syarat yang memiliki hak secara eksplisit untuk memberikan gelar itu.
Penentuan siapa-siapa yang berhak memperoleh gelar Dr (HC) juga tidak sembarangan. Terlebih dulu harus dirapatkan oleh senat guru besar. Â
Pengukuhan gelar Dr (HC) lazim dilakukan secara individu, bukan secara masal. Menurut tata cara dan tradisi, pengukuhan gelar diberikan oleh rektor. Seusai upacara singkat, maka si penerima gelar membacakan orasi (ilmiah) sesuai bidang keilmuan yang dikuasainya. Â
Pemberian gelar doktor kehormatan boleh dilakukan oleh perguruan tinggi swasta, asalkan  sudah memiliki akreditasi. Tentu saja dengan memperhatikan tradisi akademik yang ditetapkan.
Nilai tambah
Tidak dimungkiri, hingga saat ini masih banyak ketidaktahuan dan kejanggalan dalam pemberian gelar Doktor (HC). Penulis ingat, pada  2005 beberapa selebriti terlihat mengenakan toga. Mereka tengah diwisuda di suatu tempat di Jakarta karena mendapatkan gelar Doktor (HC) dari suatu perguruan tinggi mancanegara yang membuka cabang atau perwakilan di Indonesia.
Penganugerahan gelar Dr (HC) tersebut dilakukan tak ubahnya perayaan wisuda sarjana dan dilakukan secara masal. Lagi pula mereka tidak menyampaikan orasi. Â Setelah banyak disorot, para selebriti itu pun mencak-mencak. Tentu saja kepada perguruan tinggi pemberi (baca: penjual) gelar tersebut.
Penambahan gelar Dr (HC) dan gelar akademis tentu merupakan "nilai tambah" bagi ybs. Sekadar gambaran, pada 2007 seorang calon bupati suatu daerah di Sumatera pernah memajang gelar Dr (HC) sekaligus SSos (Sarjana Ilmu Sosial, pen) untuk kampanyenya. Namun karena diperoleh secara ilegal, dia kemudian dijatuhi hukuman pidana selama lima bulan dengan masa percobaan sepuluh bulan.
Kabarnya, gelar-gelar tersebut diperoleh dari Universitas Generasi Muda (UGM) Medan. Yang ironis, Â keberadaan UGM (mungkin sebagai plesetan Universitas Gadjah Mada) tidak sesuai dengan ketentuan perguruan tinggi karena sarana dan prasarana yang ada di sana tidak mengindahkan Keputusan Mendiknas dan Dirjen Dikti ketika itu.
Sejak lama bisnis gelar marak terjadi di Indonesia. Mungkin masih ada yang ingat, pada 1986 Soedomo (mantan menteri) pernah "dianugerahi" gelar Dr (HC). Ternyata setelah ditelusuri, di negaranya (AS) perguruan tinggi tersebut tidak terakreditasi. Â
Modus baru pemberian (penjualan, pen) gelar Dr (HC) sebenarnya mulai terendus pada 2000 lalu. Ketika itu banyak orang, termasuk penulis, pernah mendapat kiriman surat lewat pos dari Institut Manajemen Global Indonesia. Kemungkinan besar, mereka memilihnya secara acak lewat buku telepon. Dalam basa-basinya dikatakan, "Selamat! Anda terpilih dari sekian banyak warga Indonesia yang berprestasi".
Ternyata, untuk menyandang gelar Dr (HC) itu penulis diminta "uang partisipasi" minimal Rp 1 juta, sebagai syarat untuk mengikuti upacara wisuda di Istora Senayan Jakarta. Anehnya, kita bisa memilih perguruan tinggi pemberi gelar tersebut yang konon berpusat di Hawaii, AS. Â Ketika itu ada empat pilihan perguruan tinggi.
Mungkin cara seperti inilah yang dilakukan para calon pemimpin daerah dan calon anggota legislatif dalam Pemilu lalu. Mereka tidak sungkan-sungkan memasang sederet gelar karena di negara kita gelar akademis masih dianggap sakral sebagai lambang status dan lambang feodalisme. Kalau ada sejumlah calon yang memasang gelar demikian, kita anggap saja gelar Doktor "Konyolis Causa" atau "Humoris Causa". Artinya, manusia konyol yang masih memuja gelar demi keuntungan pribadi. Anggap saja humor segar.
Saya lebih baik dapat gelar Prof. Djulianto S. Kom. Atau mungkin lebih bagus yah kalau Prof. Dr (HC) Djulianto S. Kom. Yang jelas saya Prof. abal-abal loh, tapi bermanfaat buat banyak orang. Berbagai tulisan saya di blog pribadi, media massa, termasuk di Kompasiana sering dibaca banyak orang. Tentu karena isinya konten positif, informatif, edukatif, dan mencerdaskan.*** Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H