Penganugerahan gelar Dr (HC) tersebut dilakukan tak ubahnya perayaan wisuda sarjana dan dilakukan secara masal. Lagi pula mereka tidak menyampaikan orasi. Â Setelah banyak disorot, para selebriti itu pun mencak-mencak. Tentu saja kepada perguruan tinggi pemberi (baca: penjual) gelar tersebut.
Penambahan gelar Dr (HC) dan gelar akademis tentu merupakan "nilai tambah" bagi ybs. Sekadar gambaran, pada 2007 seorang calon bupati suatu daerah di Sumatera pernah memajang gelar Dr (HC) sekaligus SSos (Sarjana Ilmu Sosial, pen) untuk kampanyenya. Namun karena diperoleh secara ilegal, dia kemudian dijatuhi hukuman pidana selama lima bulan dengan masa percobaan sepuluh bulan.
Kabarnya, gelar-gelar tersebut diperoleh dari Universitas Generasi Muda (UGM) Medan. Yang ironis, Â keberadaan UGM (mungkin sebagai plesetan Universitas Gadjah Mada) tidak sesuai dengan ketentuan perguruan tinggi karena sarana dan prasarana yang ada di sana tidak mengindahkan Keputusan Mendiknas dan Dirjen Dikti ketika itu.
Sejak lama bisnis gelar marak terjadi di Indonesia. Mungkin masih ada yang ingat, pada 1986 Soedomo (mantan menteri) pernah "dianugerahi" gelar Dr (HC). Ternyata setelah ditelusuri, di negaranya (AS) perguruan tinggi tersebut tidak terakreditasi. Â
Modus baru pemberian (penjualan, pen) gelar Dr (HC) sebenarnya mulai terendus pada 2000 lalu. Ketika itu banyak orang, termasuk penulis, pernah mendapat kiriman surat lewat pos dari Institut Manajemen Global Indonesia. Kemungkinan besar, mereka memilihnya secara acak lewat buku telepon. Dalam basa-basinya dikatakan, "Selamat! Anda terpilih dari sekian banyak warga Indonesia yang berprestasi".
Ternyata, untuk menyandang gelar Dr (HC) itu penulis diminta "uang partisipasi" minimal Rp 1 juta, sebagai syarat untuk mengikuti upacara wisuda di Istora Senayan Jakarta. Anehnya, kita bisa memilih perguruan tinggi pemberi gelar tersebut yang konon berpusat di Hawaii, AS. Â Ketika itu ada empat pilihan perguruan tinggi.
Mungkin cara seperti inilah yang dilakukan para calon pemimpin daerah dan calon anggota legislatif dalam Pemilu lalu. Mereka tidak sungkan-sungkan memasang sederet gelar karena di negara kita gelar akademis masih dianggap sakral sebagai lambang status dan lambang feodalisme. Kalau ada sejumlah calon yang memasang gelar demikian, kita anggap saja gelar Doktor "Konyolis Causa" atau "Humoris Causa". Artinya, manusia konyol yang masih memuja gelar demi keuntungan pribadi. Anggap saja humor segar.
Saya lebih baik dapat gelar Prof. Djulianto S. Kom. Atau mungkin lebih bagus yah kalau Prof. Dr (HC) Djulianto S. Kom. Yang jelas saya Prof. abal-abal loh, tapi bermanfaat buat banyak orang. Berbagai tulisan saya di blog pribadi, media massa, termasuk di Kompasiana sering dibaca banyak orang. Tentu karena isinya konten positif, informatif, edukatif, dan mencerdaskan.*** Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H